[Artikel] Program Makan Bergizi Gratis: Janji Sehat yang Berujung Petaka di Garut
WEEKLY POST
Penulis: Difa Septiari Dinarsih
Ketika Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, banyak orang tua
menyambutnya dengan penuh harapan. Akhirnya, negara memperhatikan makanan anak sekolah dengan membawa janji besar untuk mengatasi gizi buruk,
mencegah stunting, sekaligus mengurangi kesenjangan sosial. Namun, niat baik
saja tidak cukup jika pelaksanaannya amburadul. Kasus keracunan massal di Garut
adalah buktinya.
Alih-alih menyehatkan, makanan dari program ini
justru membuat ratusan pelajar tumbang. Mereka muntah, diare, hingga harus
dirawat di rumah sakit. Apa yang seharusnya jadi “menu sehat dari negara”
berubah menjadi ancaman nyata bagi anak-anak. Insiden ini jelas bukan masalah
sepele. Ia menunjukkan betapa berantakannya tata kelola program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Aapakah ada jaminan mutu yang benar-benar
diterapkan? Bagaimana mekanisme pengawasan distribusi makanan yang begitu
masif? Siapa yang memastikan dapur penyedia makanan benar-benar memenuhi
standar? Sayangnya, jawaban yang muncul dari pemerintah hanya klise: “masih
diteliti,” “menunggu hasil laboratorium,” atau “akan dievaluasi.” Jawaban yang
mengambang ini tentu tidak cukup untuk meredakan keresahan publik.
Sejak awal, program MBG memang lebih terasa
sebagai proyek politik ketimbang program kesehatan publik. Janjinya digaungkan
saat kampanye, lalu buru-buru dijalankan tanpa persiapan matang. Standar
keamanan pangan tidak dipastikan, sementara isu soal keterlibatan jaringan
penyedia yang dekat dengan lingkar kekuasaan semakin menambah ketidakpercayaan.
Wajar jika publik mulai bertanya: ini program untuk gizi anak, atau sekadar
proyek pencitraan?
Kegagalan tata kelola MBG bukan hanya soal
anggaran yang terbuang. Taruhannya jauh lebih besar, kesehatan bahkan nyawa anak-anak. Sekali saja
terjadi keracunan massal, kepercayaan publik bisa runtuh. Apalagi kalau kasus
serupa berulang di daerah lain. Bagaimana orang tua bisa tenang jika yang
mereka lihat bukan anak-anak yang lebih sehat, melainkan anak-anak yang masuk
rumah sakit setelah makan “gratis” dari negara?
Saatnya pemerintah benar-benar serius berbenah. Program MBG tidak boleh sekadar asal jalan. Audit dapur penyedia harus dilakukan dengan standar keamanan pangan yang ketat. Rantai distribusi makanan harus higienis, bukan logistik seadanya. Proses kontrak penyedia juga harus transparan, agar jelas siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah. Evaluasi independen mutlak diperlukan, melibatkan ahli gizi, akademisi, dan masyarakat sipil. Jika semua itu belum bisa dipenuhi, lebih baik program dihentikan sementara. Lebih baik menunda daripada menimbulkan korban berikutnya.
Makanan bukan sekadar urusan kenyang. Ia
menyangkut kesehatan, kualitas hidup, bahkan masa depan generasi bangsa.
Program MBG seharusnya menjadi simbol hadirnya negara dalam menjamin gizi
anak-anak, bukan contoh cerobohnya birokrasi. Kasus di Garut adalah alarm
keras. Pemerintah harus membuktikan keseriusannya dengan langkah nyata, bukan
sekadar janji evaluasi tanpa ujung. Kalau tidak, MBG akan dikenang bukan
sebagai penyelamat gizi, tapi sebagai proyek gagal yang mencederai anak bangsa.
Komentar
Posting Komentar