[Ruang Karya] Opini: FILSAFAT KEHENINGAN SEBAGAI PENENANG DI ERA MODERNISASI

RUANG KARYA

Filsafat Keheningan sebagai Penenang di Era Modernisasi

(Cr: Pinterest)

Penulis: Dava Pratama


Era modern membuat manusia kehilangan prioritas, yang mana hal ini membuat kehidupan diselimuti kebingungan tanpa batas sehingga memicu ketidakbermaknaan dalam berkehidupan. Manusia benar-benar dipaksa hidup dalam imajinasi bahwa apa yang dikerjakan akan mengisi kekosongan hatinya, namun itu semua ternyata hanya sebatas angan-angan saja. Pekerjaan yang mereka lakukan tidak sekadar mengikuti arus, tetapi benar-benar menggambarkan kehidupan tanpa nahkoda—alias “berlabuh tanpa arah”.

Kita mungkin tidak asing dengan cabang keilmuan filsafat, yang mana secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang berarti “cinta kebijaksanaan”. Kehadiran filsafat memberikan kita pengingat bahwa perenungan atas kehidupan merupakan suatu hal yang umum, yang seharusnya dilakukan semua orang. Akan tetapi, hiruk-pikuk membuat kebanyakan orang lupa bahwa ada hal-hal kecil yang patut direnungi dan beralih pada keheningan yang mendalam. Dalam hal ini, filsafat memberikan kita arti akan hidup itu sendiri.

Filsafat keheningan memberikan manusia arah yang jelas bahwa hening bukan berarti tak memiliki arti, melainkan perwujudan dari perenungan eksistensi yang mengarah pada ketenangan, kebijaksanaan, dan disiplin diri. Hal ini mengacu pada keautentikan diri, memberikan kita sedikit cermin bahwa hidup tidak seharusnya berpacu pada ekspektasi sosial, tetapi sebagai bentuk merdeka atas diri sendiri. Menurut saya, hal ini mampu membawa manusia pada titik ketenangan serta pemaknaan mendalam akan kehidupan yang absurd.

Keheningan bukan berarti eskapisme, melainkan perwujudan dari menjalani realitas tanpa melupakan tanggung jawab itu sendiri. Jika semua permasalahan hanya dialihkan atas dasar mencapai ketenangan, itu semua tidak membentuk jati diri yang autentik, melainkan sekadar ketenangan yang semu. Manusia bukan diharapkan untuk terus berlari, tetapi berjalan dan sedikit memedulikan sekitar—bahwa hidup yang bermakna tidak melulu soal apa yang dikerjakan, melainkan soal apa yang membuat seseorang merasa berarti dan tumbuh.

Menurut saya, ini bukan sekadar pengingat semata, tetapi sebagai bentuk kesadaran yang harus sudah dimiliki oleh tiap individu agar tidak dibuat buta oleh zaman. Sejalan dengan hal ini, diharapkan agar semua orang memahami bahwa apa yang mereka konsumsi bukan sekadar bentuk penambahan informasi, melainkan bentuk kritisasi terhadap informasi itu sendiri. Alias, sang penggugat bukan sekadar manusia yang mengikuti apa yang mayoritas lakukan, tetapi sang pemandu akan hidupnya sendiri. Dengan demikian, keegoisan bukanlah label yang layak kamu dapatkan.


Editor: Difa Septiari Dinarsih 



Komentar

Popular Posts