[Opini] Ketika Gen Z Lebih Nyaman Bercerita Dengan Kecerdasan Buatan Dari Pada Manusia
Weekly Post
Penulis: Aqim Laila
Fenomena baru muncul di kalangan Gen Z dimana bercerita dengan kecerdasan buatan atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan AI menjadi pilihan karena kebanyakan merasa lebih nyaman bercerita dengan chatbot berbasis AI daripada dengan teman dekat, keluarga, bahkan pasangan. Sebagai bagian dari Gen Z, aku pada awalnya memang memandangnya dengan sah-sah saja. AI sebagai bagian perkembangan teknologi saat ini siaga selama 24 jam dan merespon dengan cepat apa pun yang dikeluhkan. Tapi menurutku ada satu hal yang harus dipertanyakan lebih dalam. Yaitu mengapa kita memilih curhat ke mesin daripada curhat ke manusia?
Tidak sedikit Gen Z yang mana memang tidak memiliki teman curhat dan ia memilih AI untuk menjadikannya tempatnya bercerita. AI merespon setiap curhatannya setiap waktu, satu per satu kalimat keluh kesah dibalas dengan kalimat suportif dan validasi. Jawabannya kelihatan sangat sesuai dengan gaya curhatnya. Ia melupakan atau bahkan tidak mengetahui, bahwa AI sebenarnya menjawab berdasar hasil pola bahasa dari data yang pernah dipelajari. Gen z yang ingin serba cepat dan praktis otomatis merasa bahwa AI itu sangat cocok untuk tempat cerita.
Manusia pada dasarnya butuh didengar, dipahami, dan diterima tanpa syarat. Bayangkan ketika kamu cerita ke teman sekitarmu, lalu mereka menanggapi cerita kamu dengan meremehkan, menertawakan, atau menasihati tanpa empati, wajar kalau kamu akhirnya mencari ruang aman lain. AI menawarkan ruang aman yang netral, tidak menghakimi, dan tidak pernah “capek” mendengarkan. Tapi justru di situ masalahnya. AI memang membuat nyaman karena netral, tapi kalau kita terlalu sering bergantung, kita bisa kehilangan proses refleksi yang sehat. Dalam hidup nyata, kritik atau perbedaan pendapat dari orang lain itu penting banget buat kita tumbuh. Bayangkan kalau kita cuma curhat ke AI kita jadi kejebak di pikiran sendiri, hanya mendengar hal-hal yang kita mau, bukan yang kita butuh.
Hal ini adalah sebuah serangan bagi kita, Gen Z, yang dari awal sudah tumbuh bersama teknologi. Kita terbiasa dengan dunia yang serba instan, serba cepat, dan kalau ada masalah tinggal klik, selesai. Tapi sayangnya, hubungan manusia tidak bisa disederhanakan seperti itu. AI hanya bisa meniru bahasa, tidak memiliki perasaan dan tidak memberi empati. Tidak bisa memberikan pelukan, tatapan hangat, atau sekadar senyum yang bisa menjadikan kita merasa ditemani. Jika kita terus-menerus lari ke AI, bukannya semakin kuat, kita malah makin jauh dari relasi nyata yang dibutuhkan sebenarnya dan penting untuk menjaga kesehatan mental anak muda.
Tulisanku ini jangan diartikan sebagai ajakan untuk menolak teknologi, tapi jadikan sebagai tambahan masukan dan aku harap bisa membantu menambah sudut pandang. Mungkin, sudah saatnya kita para gen z belajar lagi menjadi manusia bagi manusia lain. Ketika menjadi tempat cerita,bukan hanya mendengar tanpa menghakimi, tetapi juga berani menantang, menumbuhkan,mengingatka. Karena pada akhirnya, bukan AI yang bisa benar-benar menemani kita tumbuh, melainkan relasi antar manusia itu sendiri.
Editor: Alfiana Eka Agustina
Komentar
Posting Komentar