[Opini] Scroll Tanpa Henti, Jiwa Yang Sepi: Potret Gen Z di Era Digital
WEEKLY POST
Penulis: Lathifa Az Zahra Trengga Dewi
Di balik kecepatan jari-jemari yang menggulir layar tanpa henti,
tersembunyi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Generasi Z atau yang biasa
disebut dengan singkatan Gen-Z merupakan anak-anak muda yang lahir dan tumbuh
bersama dengan berkembangnya teknologi, seiring dipuja sebagai generasi paling
canggih, adaptif, dan penuh potensi digital. Tapi tidak banyak yang menyadari,
bahwa mereka juga merupakan generasi yang paling kesepian, paling tertekan, dan
paling lelah menghadapi dunia yang terlihat sempurna, namun semu.
Media sosial yang awalnya menjadi ruang ekspresi kini berubah
menjadi cermin yang menuntut kesempurnaan. Unggahan demi unggahan
memperlihatkan standar kecantikan yang tak realistis, gaya hidup glamor yang
tak semua bisa dimiliki, dan pencapaian yang membuat banyak orang merasa “tertinggal
atau insecure” Algoritma membanjiri layar dengan konten yang terlihat
menyenangkan, padahal diam-diam menciptakan jurang perbandingan yang tak sehat.
Fenomena insecure, FOMO (fear of missing out),
hingga krisis identitas pun menjadi hal yang makin sering dikeluhkan Gen Z,
akan tetapi jarang benar-benar dipahami.
Banyak dari mereka kini merasa lebih nyaman mengekspresikan diri
melalui fitur anonim, dibandingkan berbicara dengan orang tua atau guru. Ada
yang merasa lebih diterima di dunia virtual, dibandingkan di kehidupan nyata.
Bahkan, tidak sedikit yang mulai mengukur harga diri berdasarkan jumlah “like”
atau “view”, bukan apa yang benar-benar mereka sukai atau yakini.
Lebih menyedihkan, dimana tengah arus informasi yang melimpah,
literasi digital Gen Z belum sepenuhnya kuat. Mereka memang piawai membuat
konten, tapi sering kesulitan membedakan mana fakta, opini, atau propaganda.
Mereka mampu viral dalam satu malam, tapi tak dibekali cukup kemampuan
menghadapi kritik, tekanan mental, atau bahkan pelecehan digital yang marak
sering terjadi.
Namun, menyalahkan Gen Z sepenuhnya tentu tidak adil. Dunia digital
memang tidak diciptakan untuk ramah terhadap emosi manusia. Algoritma hanya
peduli pada atensi, bukan pada kesehatan mental. Maka, sudah menjadi tanggung
jawab bersama-orang tua, sekolah, pemerintah, hingga platform digital untuk
menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat, adil, dan manusiawi.
Kita tidak butuh generasi yang hanya jago scroll, edit, dan upload.
Kita butuh generasi yang tahu kapan harus pause, memahami bahwa nilai
diri tak ditentukan oleh algoritma, dan paham bahwa tidak semua yang tampak di
layar adalah kebenaran.
Sudah waktunya kita berhenti menganggap Gen Z sebagai generasi
“lemah mental” atau “rebahan.” Mereka bukan generasi malas. Mereka adalah
generasi yang sedang berjuang di tengah gempuran informasi, ekspektasi, dan
ilusi kesempurnaan. Maka, jangan biarkan mereka berjalan sendiri dalam pengaruh
digital yang penuh jebakan.
Karena di balik setiap senyuman yang dipaksakan
untuk konten, bisa jadi ada jiwa yang sedang menjerit dalam diam tanpa
diutarakan. Maka, tugas kita adalah menyadari hal tersebut, sebelum mereka
benar-benar tenggelam dalam layar yang tidak pernah mengenal waktu.
Editor: Difa Septiari Dinarsih
Komentar
Posting Komentar