[Ruang Karya] Opini: Nirmala Perempuan di Tengah Ketidakberdayaan
RUANG KARYA
Opini: Nirmala Perempuan di Tengah Ketidakberdayaan
Penulis: Nurul Faiqotus Saadah
Sering kita dengar selama 10 tahun terakhir, standarisasi kecantikan perempuan Indonesia tidak jauh dari badan yang ramping, tubuh yang tinggi, kulit putih bersih, rambutnya hitam panjang. Namun, apakah arti “cantik” yang sebenarnya? apakah kecantikan hanyalah pengakuan kasat mata? Apakah arti “cantik” hanya terbatas dalam aspek fisik yang bisa divisualisasikan? Apakah arti “cantik” adalah tentang tubuh yang semakin indah tatkala dibubuhkan pernak-pernik dengan ilustrasi seperti cincin, gelang, kalung, dan lain sebagainya serta beragam polesan dalam rangka menampakkan magis dalam wajah.
Perempuan dan eksistensinya. Bagi penulis, perempuan dan keindahan merupakan kemelakatan yang bersandingan. Perempuan dan kehadirannya yang disyukuri, berulang kali menjadi objek yang menyanding kata "indah" tanpa sebab apapun. Perempuan mempunyai segenap sebab indah hanya karena keberadaannya. Perempuan memeluk kata “indah” tanpa terbatas di satu hal saja, perempuan tidak berhenti pada kecantikan wajah belaka. Perempuan dianggap indah juga karena laku nya, perempuan dianggap indah karena keberanian berpikir dan bersuara meski tetap diselimuti oleh naluriah kasih sayang.
Perempuan merupakan makhluk yang cukup kompleks. Perempuan sebagai makhluk yang memikul keberagaman didalam dirinya. Dalam puisi Nizar Qabbani, perempuan diungkapkan bahwa perempuan merupakan makhluk yang cukup puitis, romantis, bahkan erotis. Perempuan terlahir romantic karena dirinya sendiri. Pandangan Nizar Qabbani tentu berkebalikan dengan pola perilaku primitive yang massif hingga sekarang, seperti sekodi harga diri Wanita yang seringkali hanya dibayar menjadi bahan onani. Pesona tubuh seorang perempuan sangat disenang dan diminati, sedangkan kodrat-kodratnya dianggap hina. Sedangkan, hak-hak nya dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif. Hak perempuan hingga hari perayaannya seolah dibedakan.
Tulisan ini tidak hanya sesuatu yang berserakan dalam pikiran penulis, tulisan ini menyuarakan bagaimana bisa kesetaraan sulit sekali tercipta? Teruntuk perempuan, jangan memberhalakan kata "diam". Bagi penulis, jika perempuan rela memberhalakan kata “diam”, berarti dengan vagina, perempuan seharusnya tidak membaca. Dengan vagina, perempuan seharusnya tidak memohon didengar. Harusnya dengan vagina, perempuan tidak menambah kosa kata selain “iya”. Harusnya, dengan vagina penulis tidak perlu mengungkap isi pikiran hingga mengajak sesama teman perempuan untuk menghindari ketidakberdayaan.
Seringkali dibicarakan, jika mengobral selangkangan menjadi kegiatan yang terkesan tidak apa-apa, mengobral selangkangan agaknya tidak lebih bahaya dibandingkan perempuan yang mulai meningkatkan kesadaran sosial, hal ini membuat pertanyaan bagi penulis, jika terlalu banyak ditemui humor seksis yang begitu menyudutkan perempuan, apakah karena negara kita terlalu takut jika perempuan bicara?
“Kepada perempuan, berpura-pura-lah! Bungkam! Diam! Jangan bertingkah cerdas!" begitu ucap patriarki yang sengaja membangun dunia dengan bangkai moral. Begitu ucap patriarki yang tidak nyaman dengan keberhargaan perempuan, dengan sejuta nirmala yang berusaha dipeluk oleh perempuan. Pesan penulis kepada seluruh perempuan, selagi darah masih mengalir berarti perempuan masih memiliki ruang, perempuan masih memiliki kesempatan. Kepada seluruh perempuan, berpikirlah, melangkah, yakinlah bahwa perempuan yang berakal, akan lebih mengancam dan menyeramkan dari segala bentuk ancaman dunia.
Editor: Difa Septiari Dinarsih
Komentar
Posting Komentar