[Ruang Karya] Cerpen: Waktu yang Belajar Berhenti

 Waktu yang Belajar Berhenti

(Cr:lovepik.com)
Penulis: Puji Ana Astuti

Araya selalu merasa waktu adalah lawan yang tak terkalahkan. Setiap hari, setiap jam, dan setiap detik terasa seperti perlombaan tanpa garis finis. Waktu begitu cepat berlalu dan ia merasa tak pernah puas dengan pencapaiannya. Setiap tugas yang ia kerjakan, setiap ekspektasi yang datang, selalu menghantuinya. Tidak ada waktu untuk berhenti sekadar menikmati hal-hal kecil dalam hidupnya.

Ketika di kampus, Araya akan menjadi orang pertama yang datang dan orang terakhir yang pulang. Jadwal kuliah dan kegiatan organisasi membuatnya seolah menjadi manusia tersibuk. Setiap jamnya diatur dengan ketat, seolah-olah ia adalah kereta yang melaju di atas rel tanpa cela. Semua itu ia lakukan agar dia bisa berhasil dan sesuai dengan apa yang diharapkan orangtuanya.

Namun, dibalik sosok yang terstruktur dan ketat pada jam hidup, ada Mira. Ia adalah teman Araya yang sangat santai. Mira tak pernah tampak terburu-buru ataupun cemas akan kehabisan waktu. Saat menghadapi tugas besar pun, Mira terlihat sangat santai seolah ia adalah air mengalir yang tenang. Padahal, banyak rumor mengatakan bahwa ketika di sekolah menengah atas, Mira adalah anak yang aktif. Ia tak pernah sekalipun terlihat bersantai, selalu sibuk kesana kemari mengatur organisasi dan acara penting di sekolah.

Setiap kali mereka bertemu, Araya merasa bingung dan bertanya-tanya. Kenapa sangat berbeda dari rumor yang beredar? Bagaimana bisa Mira yang hidup dengan cara yang sangat santai seperti ini, padahal dulunya sangat aktif? Apakah sekarang dia tidak takut tertinggal dari orang lain?

Pada suatu sore, setelah jam kuliah yang padat dan melelahkan, Araya memilih duduk sejenak di taman kampusnya. Di sana, ia melihat Mira yang sedang santai menggambar sesuatu di sketchbook mininya dengan secangkir teh susu. Melihat itu, Araya mendekat dan duduk di sampingnya.

“Aku penasaran, kamu kok bisa, sih sesantai ini? Padahal katanya dulu kamu anak yang aktif?” tanya Araya, setengah heran.

“Aku bahkan gak tau rasanya bersantai itu seperti apa,” keluh Araya lirih.

Mira membeku, menatap langit biru yang penuh awan sembari tersenyum. Namun, matanya kembali fokus pada goresan-goresan tinta di sketchbook-nya dan mengungkapkan,
“Hidup itu gak harus terburu-buru, Ray. Dulu aku anak yang aktif, tapi aku sadar bahwa itu melelahkan. Kalau aku terus begitu, aku bakal kehilangan lebih banyak hal di hidupku.”

Matanya menangkap bentuk goresan yang ia gambar. Sosok yang selalu mengatakan bahwa hidup bukan perlombaan, yang selalu memberikan rasa aman. Namun, dia sudah pergi, meninggalkan dirinya sendirian. Menyadarkannya bahwa ia harus belajar hidup tenang tanpa bantuan.

“Tapi, kalau gak berusaha keras dan ngejar target, nantinya gimana?” tanya Araya dengan ragu, membuyarkan lamunan Mira.

Mira menutup sketchbook-nya setelah goresan terakhir dan menatap Araya.

“Ray, pencapaian itu memang penting, tapi proses untuk mencapai tujuanmu juga sama pentingnya. Kalau kamu terus-menerus mengejar targetmu tanpa menikmati perjalanannya, kamu bakal kehilangan banyak hal yang berharga. “Araya diam sejenak, lalu menatap Mira dengan ragu.

“Tapi, kamu pernah gak takut ketinggalan? Takut semua orang sudah sampai, tapi kamu masih berjalan pelan di belakang mereka?” tanya Araya dengan penasaran.

Mira mengangguk dan berkata, “Tentu saja, aku kan juga manusia, tapi kalau aku terus berlari mengikuti ritme orang lain, aku hanya akan lelah dan kehilangan diriku sendiri.”

“Ray, waktu itu bukan hanya sesuatu yang harus dikejar, tapi sesuatu yang harus kita nikmati,” pungkasnya.

Araya tertegun, perkataan Mira mengusik pikiran dan hati kecilnya. Ia mulai mempertanyakan hidup yang selama ini ia jalani. Ia merasa ada yang salah, tapi ia juga takut akan tertinggal jika ia melambat sedikit saja. Bagaimana bisa ia mencapai targetnya jika ia bersantai? Apakah ia akan berhasil jika memilih untuk bersantai?

Pada suatu malam, Araya duduk di meja belajarnya. Waktu menunjukan pukul satu dini hari, dan dia belum selesai mengerjakan tugas yang harus diserahkan hari esok. Semuanya terasa begitu kacau dan melelahkan. Namun, ia mengingat perkataan Mira, nikmati perjalanannya, bukan hanya tujuannya. Araya memejamkan matanya, menarik napas panjang, dan merapalkan kalimat itu berulang kali dalam hatinya. Araya teringat, bagaimana ia menjalani kehidupan selama ini, selalu terburu-buru, seolah waktu terus mengerjarnya. Ia mulai menyadari semua hal yang ia lakukan dan untuk pertama kalinya ia merasakan kedamaian yang selalu Mira katakan. Araya menulis di secarik kertas dan menuliskan “Hidup bukan hanya mengejar, tapi juga tentang menikmatinya”, yang kemudian ia tempel di meja belajarnya. Kalimat itu menjadi pengingat baginya untuk hidup lebih baik.

Hari ujian pun tiba, untuk pertama kalinya Araya merasa sedikit tenang menghadapi ujian. Dia mengerjakan dengan santai dan tidak terburu-buru oleh waktu. Meskipun ia tak tahu hasilnya akan bagaimana, setidaknya dia menikmati proses mengerjakan ujian itu. Beberapa minggu setelah ujian, ia melihat Mira di taman yang sama, memutuskan untuk menghampirinya. Mira yang sibuk dengan sketchbook-nya, teralihkan dengan kedatangan Araya. Kali ini, Araya menghabiskan waktu lebih lama untuk berbicara banyak hal dengan Mira, rasanya begitu damai, tanpa harus terburu-buru oleh tekanan waktu yang menghantuinya.

“Aku mulai mengerti maksudmu, Mir,” ujar Araya tersenyum.

“Aku tak harus selalu dikejar waktu. Aku harus belajar menikmati setiap detik yang ada, walaupun banyak hal yang harus dilakukan,” sambungnya.

Mira tersenyum lebar, “Nah, itulah yang kumaksud.”

“Aku harap, ke depannya kamu bisa lebih banyak menikmati hal-hal indah dalam hidup,” ujarnya.

Saat ini, Araya tak lagi hidup dalam bayang-bayang rasa tertekan. Meski banyak tugas dan target, ia tau kapan saatnya untuk berlari dan kapan cukup dengan berjalan. Hal itu membuat hidupnya lebih tenang dan jauh lebih bermakna.

Editor: Difa Septiari Dinarsih 

Komentar

Popular Posts