[Ruang Karya] Cerpen: Penyesalan Tak Berujung

 

(Cr: Google)
Penulis: Alfiana Eka Agustina

Sudah seminggu tak ada nasi sebutir pun yang masuk ke dalam perut seorang lelaki yang kini terduduk lesu di depan pintu rumah panggungnya. Setiap hari ia hanya bisa makan dengan singkong, atau ubi jalar yang direbus. Itu pun tidak bisa mengganjalnya dari rasa lapar yang mendera. 

Apalagi dia.... 

Dia Mentari, sosok wanita yang 5 bulan lalu dinikahi secara hukum dan agama oleh lelaki yang biasa dipanggil Hamid, kini harus menelan pil kehidupan yang pahit berupa kelaparan. 

Jangankan untuk memberi beras dan kebutuhan istrinya. Hamid saja tidak punya uang sepeser rupiah pun. 

Ditatapnya wajah ayu sang istri yang kini tertidur beralaskan tikar tipis. Mentari tak pernah mengadu ataupun mengeluh mesti saudaranya yang lain sering berkunjung ke rumah yang tidak layak disebut rumah. 

Hamid merasa bersyukur menikahinya

Meski kesedihan dalam hati Hamid semakin perih, lantaran sang istri yang saat ini hamil anak pertama mereka. Di tengah kondisi yang serba kesusahan. 

Hamid merasa tidak becus menjadi suami. Mentari, sosok gadis yang dinikahi nya itu memiliki keluarga yang jauh dari kata miskin. Semua keinginannya selalu terpenuhi. Namun, setelah menikah dengan Hamid yang hidup serba kekurangan, tak sekalipun dia mengadu kepada orang tuanya. Meski sudah seminggu dia tak makan nasi. 

Tadi siang kakak Mentari datang membawakan sayur, tempe, dan ikan. Tapi Mentari tidak sedikitpun mengadu kalau dia tidak punya beras. 

Saat Hamid pulang dari kebun, Mentari bercerita dengan ceria kalau tempe pemberian kakaknya ia berikan kepada tetangga mereka yang memiliki anak banyak. Karena di rumah tidak ada minyak untuk menggoreng, tidak ada gula untuk membuat bacem, maka sayurannya ia rebus, dan ikannya ia kukus. 

Mentari pun berkata, 

"Singkongnya untuk besok pagi aja ya mas. Kita hari ini makan sayur dan ikan, yeyy. Cepat ya, Mas nyambel dulu, Aku sudah lapar sekali ingin makan" 

Hamid pun tersenyum mengingat kebiasaan aneh istrinya sejak hamil, yang tidak bisa makan kalau belum ada sambal yang dibuat oleh Hamid, karena kalau Mentari sendiri yang membuat, ia akan muntah. Jadi Hamid pun dengan senang hati membuatkan istrinya sambal sebelum makan. 

Hari berganti malam, Hamid yang masih setia duduk di depan pintu rumahnya dibuat terkejut oleh suara Mentari yang nampak gelisah dalam tidurnya. 

Plak

Plak

Plak

Terdengar suara Mentari memukul nyamuk, meski pada akhirnya pipi dan pahanya lah yang ia pukul. Hamid pun menghampiri istrinya, dan ikut bergabung di atas tikar tipis tersebut. 

"Mas kan sudah bilang berkali-kali, Dek, kalau mau tidur pinggiran tikarnya dikasih minyak tanah dulu. Biar nanti Adek gak digigit nyamuk.” Ucap Hamid sambil mengolesi pinggiran tikar dengan minyak tanah dari lampu gantung. 

Bibir Mentari mengerucut. 

"Kan harus nya Mas yang melakukannya. Aku sudah capek pengen cepat tidur."

Hamid hanya tersenyum lembut. "Lain kali kalau nepuk jangan keras keras nggeh dek. Liat ini pipi kamu sampe memerah. Gimana nanti kalau dilihat orang dan dikira Aku yang memukuli Adek." Ucap Hamid sambil membelai pipi putih Mentari. 

Makin merucut lah bibir Mentari. 

"Ya kan Aku mukul nyamuk mas bukan berniat memukul pipiku"

"Iya, Mas tau, tapi lain kali jangan keras-keras kayak tadi yaa, itu kan ninggalin bekas." Hamid mulai menutup kelambu tipis. Tidak membiarkan istrinya sakit karena digigit nyamuk lagi. 

"Sudah ayo tidur lagi"

Mentari masuk kedalam pelukan suaminya, tanganya dengan nakal mencubit dada suami nya yang kurus. "Mas"

"Hmmm" Hamid menyaut pelan. 

"Tadi sore ada Mbak Faiz kesini. Nawarin Aku untuk ikut kerja sama dia, memetik lombok gitu mas. Yang nantinya hasil penjualannya akan di bagi dua. Lumayan, Mas buat beli garam, kita kan gak punya apapun lagi di dapur."

Sungguh hati Hamid seperti diremas-remas. Setidak becus itu ia jadi suami. Sampai istrinya yang sedang hamil ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan dapur. 

"Mas kok diem aja?" Ujar Mentari lagi, diliatnya sang suami yang kini malah memejamkan mata. 

"Ihh Mas jangan tidur duluu, izinin Aku, ya ya ya? Aku janji gak akan kecapekan kok, Aku gak ngoyo. Nanti sebelum dhuhur Aku bakal pulang buat sholat. Ya mas yaa? Izinin aku, ya? please." Mentari mengguncang bahu suaminya saat tak mendengar jawaban apapun dari suaminya itu. 

‘Ya Allah dek maafin aku yang harus menarikmuk

63 ke dalam belenggu kesusahan ini. Kamu yang hidup serba berkecukupan harus berpikir untuk bekerja karena aku yang tak bisa memenuhi kebutuhan dapurmu.’ Tangis Hamid dalam hati. 

“Mas diajak ngomong kok diem aja, sih?” Gerutu Mentari

Hamid menghembuskan nafas pelan. "Emang kamu gak takut nanti kakimu kena kutu air?" Ujar Hamid mencoba membujuk Istrinya. 

Mentari menggeleng. "Aku gak takut, Mas, asalkan kamu gak jijik kalau kaki istrimu ini kena cacar air."

Hamid tersenyum. 

"Yaudah terserah kamu, tapi tolong nanti Adek jangan capek-capek, ya. Dhuhur wajib pulang buat sholat. Terus jangan langsung kembali bekerja, istirahat dulu satu atau dua jam. Pokoknya jangan sampai kecapekan ya, Dek".

Mentari bersorak gembira lalu masuk ke dalam pelukan Hamid. Ia mencuri kecupan di pipi kanan dan kiri Hamid sebelum berbaring lagi. 

Tak Hamid sangka Istrinya sebahagia itu diizinkan bekerja. Dalam hati Hamid berteriak, menangis. Meratapi nasib yang belum berpihak kepada mereka. Air mata Hamid jatuh. Terserah kalian menganggap Hamid cengeng dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, karena itu memang nyata. Dia yang meminang Mentari, meyakinkan Mentari untuk mau hidup bersamanya. Tapi pada akhirnya hanya bisa memberi kehidupan sesusah ini pada istrinya. Padahal jika mau istrinya itu bisa mendapatkan suami yang lebih baik daripada Hamid. Dari kecil Mentari dimanja. Hidupnya tidak pernah mengalami kesusahan. Tapi semenjak menikah dengan Hamid… Aarrgghh, rasa bersalah itu kian nyata di hati Hamid.

Entah terbuat dari apa hati Mentari yang kini tetap setia menemani Hamid di saat kehidupan yang sangat tidak adil buatnya. Hamid jauh lebih miskin daripada keluarga Mentari, Hamid juga bukan orang berpendidikan seperti Mentari. Tapi mengapa Mentari tidak pernah menuntut dan selalu menerima apa adanya Hamid? 

Keesokan harinya, selepas dhuhur Hamid pulang untuk mengecek keadaan istrinya. Dan betapa terkejutnya ia saat menemukan Mentari istrinya sedang menangis di pojok ruang rumah mereka. 

"Dek kamu kenapa? Kenapa menangis?"

Mentari diam sejenak, menyamankan posisinya di pangkuan Hamid. 

"Aku lapar, Mas, padahal tadi sudah makan singkong. Sekarang singkongnya sudah habis dan kita tidak punya makanan apapun lagi." Ucapnya pelan. 

Deg

Hati Hamid teriris piluu. 

"Aku juga gemetaran dari tadi. Mungkin karena apa yang aku makan dibagi sama si dedek dan tidak mencukupi nutrisinya kali, ya, Mas. Aku juga sudah tidak punya obat penambah darah, obatnya sudahsudah habis dari dua hari yang lalu." Lagi Mentari bergumam lirih. 

Hamid masih terdiam mendengar apa yang diadukan istrinya. 

Bukan. Bukannya Hamid tidak punya jawaban. Namun, ia bingung harus menjawab apa. Tanggal gajian masih lama, bahkan sekarang dia tidak memegang uang sepesersepeser pun. Mau meminjam juga pinjam ke siapake siapa? 

Batin Hamid meraung. Inginnya berteriak mengeluhkan kesah di dada. 

Diusapnya suarai istrinya. Ia kecup jidatnya

"Sekarang kita sholat dzuhur dulu yuk dek. Setelah sholat coba Mas minta kasbon ke bos, semoga diizinin".

Mentari mengangguk. 

Hamid sadar, pasti Mentari sudah benar-benar lapar. Dan makanan yang dimakannya tidak memenuhi nutrisi Mentari dan janinnya. 

Alhamdulillah bos menyetujui pinjaman Hamid. Meski hanya cukup untuk membeli beras 5 kilo. Tapi tidak masalah, yang penting istrinya tidak kelaparan untuk beberapa hari kedepan. 

~~~

Waktu terus bergulir, dan sekarang sudah terlewat masa susah tersebut. Kini Hamid berhasil membangun toko sembako terbesar di kota tersebut. Bahkan usahanya sudah memiliki beberapa cabang di daerah berbeda. Semua ini tidak luput dari doa sang istri dan dukungannya, membuat Hamid berjuang keras untuk membawa keluarga nya kedalam kehidupan yang lebih layak. Karena ketulusan dan kesetiaan Mentari membuat Hamid jatuh sejatuh-jatuhnya kedalam pesona istrinya itu. Rasa cintanya begitu dalam apalagi sekarang mereka mempunyai dua bidadari dan satu malaikat kecil yang menjadi pelengkap kebahagiaan keluarganya. 

Setidaknya… Sebelum masa lalu Hamid datang. 

Dia bernama Indah. Mantan semasa SMA Hamid. Mereka pernah menjalin hubungan cinta meski tidak lama. Lamun kedatangan Indah, yang ternyata seorang janda beranak 3 mampu membuat hati Hamid goyah. Indah terlihat begitu lemah dan lembut dimata Hamid. Berbeda sekali dengan istrinya yang sekarang suka marah-marah. Belum lagi anak-anaknya yang suka rewel di saat dia lelah pulang kerja. Sangat berbeda dengan Indah, Dia selalu memberikan senyum yang menenangkan saat Hamid berkunjung kerumahnya, anak-anak Indah juga sopan dan penurut. Mereka mandiri tidak seperti anaknya yang selalu ribut saat Hamid di rumah. 

Hamid muak, Hamid bosan di rumah apalagi beberapa hari ini tidak mendapatkan kepuasan batin dari sang istri. Untungnya disaat itu Indah selalu ada, memberikan kenyamanan yang tidak dia dapatkan dari sang istri. Dia seolah buta dan lupa dengan pengorbanan Mentari selama ini. 

Seperti saat ini. Hamid berkunjung ke rumah Indah, dengan dalih mengecek kompor tanam yang kemarin Hamid bantu untuk pemasangannya. Seolah paham, Indah menyambut Hamid dengan baju berbahan satin tipis yang membuat Hamid terpesona. 

Awalnya mereka hanya mengobrol santai di ruang TV setelah anak-anak Indah bermanja ria dengan Hamid. Sampai entah siapa yang memulai Hamid dan Indah saling berpelukan satu sama lain. 

Indah tentu tak mau melewatkan kesempatan, dia berusaha menggoda Hamid. 

Di saat posisi mereka semakin intiml, H amid seolah tersadar dan langsung mendorong tubuh Indah. 

"Jangan begini, Indah. Aku sudah punya istri." Hamid mengusap wajahnya kasar. 

"Ayo, lah, Mas. Gak usah muna, deh. Aku tau Mas Hamid masih sayang, kan sama aku? Begitu pun aku, Mas. Aku gak papa dijadikan yang kedua, Aku bahkan gak papa dinikahi secara siri saja olehmu. Asalkan kita bersama. Bukankah kamu mengatakan kalau istrimu sudah tidak menarik lagi bagimu? Aku bisa menggantikannya, Mas."

Entah apa yang dipikirkan Hamid tadi sampai tidak menolak akan sentuhan Indah, seolah dia sangat menikmati nya. Sekarang dia menyesal dia membayangkan wajah Mentari yang bersimbah tangis. 

"Tidak, Indah, ini tidak benar. Kita tidak boleh melakukan ini, aku masih ada Mentari, maaf, Indah." Hamid berdiri dan berjalan menuju pintu. 

Indah tentu saja tak tinggal diam, dia menahan lengan Hamid. 

"TTapi aku masih cinta kamu, Mas. Kamu yang selama tiga tahun ini selalu menemaniku di saat terpurukku. Gak papa kita menjalin hubungan diam-diam asalkan aku masih sama kamu, Mas"

Hamid menepis tangan Indah. "Maaf Indah aku gak bisa. Masih ada hati Mentari yang harus aku jaga".

Hamid pun berlalu dari rumah Indah. Entah dari mana datangnya kebodohan itu hingga ia hampir saja melakukan zina dengan Indah dan mengecewakan hati istrinya. Sungguh Hamid merasa bersalah apalagi wajah tangis istrinya selalu menghantuinya. 

Ditengah perjalanan Hamid baru sadar kalau hp nya masih tertinggal dirumah Indah usai tadi dibuat main oleh anak Indah yang paling kecil. 

Namun sebelum mengetuk pintu, dia mendengar suara Indah yang seperti sedang bertelepon. 

"Iya, Mas, dia tadi hampir saja masuk ke dalamke dalam perangkap kita, tinggal sedikit lagi kita berhasil menjebaknya lalu menguras hartanya seperti rencana kita. Tapi gak tau kenapa dia langsung tersadar dan mendorongku." Suara Indah terdengar pelan namun masih jelas di telinganya. 

"Lagian bodoh banget, sih jadi cowok. Hamid bahkan rela menghabiskan waktunya di rumah ini dengan anak-anak kita daripada dengan anaknya sendiri di rumah".

Cukup. Hamid tidak mau mendengarkan lebih jauh lagi, ternyata selama ini dia ditipu. Indah yang mengatakan kalau dia dan anaknya ditelantarkan oleh mantan suami nya ternyata salah. Ternyata sifat Indah yang lembut dan selalu ada di saat dia butuh adalah bagian dari rencananya. Sungguh bodoh Hamid yang bahkan hampir termakan rencana jahat Indah dan menyakiti hati istrinya yang nyata-nyata sangat tulus kepadanya. 

Buru-buru dia kembali ke mobil yang dia parkir di seberangseberang jalan, bergegas kembali ke rumah dan menemui istrinya. 

Dibukanya rumah yang akhir-akhir ini dia campakkan. Samar terdengar suara Mentari yang ternyata sedang berdo'a. Hamid mengernyit heran lantas dilihatnya jam yang terpajang di dinding. 

Oh, ternyata jam 02.30, pantas sang istri sudah menunaikan ibadah tahajud seperti kebiasaannya. Rasa bersalah semakin memenuhi hati Hamid. Apalagi saat mendengar doa istrinya. 

"Ya Allah, apa yang harus aku katakan kepada Mas Hamid tentang keadaanku sekarang? Aku tahu aku salah, Ya Allah, sudah menolak ajakannya untuk berhubungan. Tapi sungguh aku lelah, Tuhan. Aku hanya ingin beristirahat sebentar, tapi kenapa seolah Mas Hamid tidak paham dan langsung pergi begitu saja? Apa aku sudah tidak menarik lagi baginya? Apa kesalahanku begitu besar hingga Mas Hamid mulai bersikap kasar terhadapku dan anak-anak. Ya Allah, kembalikan Mas Hamid ku yang dulu. Yang selalu ada untuk keluarga meski dalam keadaan sesusah apapun. Allah, kalau Mas Hamid sungguh muak dan capek dengan diri hamba, cukup biarkan dia marah kepada hamba, tapi jangan kepada anak-anak hamba."

Air mata menetes begitu saja di pipi Hamid. Bodoh sungguh Hamid bodoh. Bahkan dia lupa dengan pengorbanan istrinya selama ini hanya karenakarena kenyamanan yang mendatangkan dosa. Ia lupa terhadap tanggung jawabnyatanggung jawabnya sebagai suami dan ayah sekaligus. 

Penyesalan itu kian menumpuk dan berkembang. Berhari-harir- dia hidup dalam kehampaan. Bahkan beribu kata maaf tak bisa menyembuhkan luka yang ada di hati Mentari. Apalagi, tanpa sepengetahuannya, Indah datang menemui Mentari dan membocorkan semua perselingkuhan mereka selama ini. Entah apa niatnya. Indah bahkan memberikan bukti berupa foto foto kebersamaan Indah dan Hamid selama ini. 

Tidak ada yang bisa mengobati sakitnya rasa kecewa. Mentari tidak pernah protes dengan apapun yang terjadi di kehidupannya bersama Hamid. Namun saat mengetahui perselingkuhan Hamid, Indah menjadi putus asa. Berhari hari dia mendiami Hamid, tidak peduli seberapa berusahanya Hamid untuk mendapatkan maafnya. 

Sampai malam ini puncaknya. Hatinya goyah dan tidak tega melihat Hamid yang terus-terusan meminta maaf bahkan sampai berlutut dihadapannya. 

"Dek... kita perlu bicara dari hati ke hati agar masalah kita tidak semakin rumit. Aku gakgak betah kau diamkan dan kau abaikan setiap hari."Ucap Hamid mengiba.

Mentari menghela nafas lelah. "Bukankah engkau pernah memperlakukanku seperti apa yang ku lakukan sekarang dan itu bukan hanya sebulan, Mas. sejak kau bertemu dengannya hampir 3 tahun, Mas apalagi satu tahun akhir-akhir ini kau sangat berubah."

Deg..

Bagaikan palu menghantam hati Hamid, remuk redam rasanya.

"Dulu di awaldi awal pernikahan kita, kau paling tau cara meredakan amarahku, , kau bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa saat aku marah, dan kau juga bisa membuatku yang awalnya menolakmu namun akhirnya mau melayanimu.

Kau dulu tidak pernah marah saat aku menolakmu meski aku dalam keadaan marah padamu tapi sekarang kau marah bahkan berlari mencari orang lain padahal itu termasuk dosa … yang berubah aku atau kamu, Mas...?"

Hamid terdiam. 

"Maafkan aku, Dek."

"Ini bukan tentang memaafkan atau tidak, Mas, … tapi tentang perubahan yang ada dalam diri dan hatimu … cobalah belajar untuk Intropeksiintropeksi diri, di mana letak kesalahan kita sebelum kita menyalahkan orang lain. Belajar memiliki sifat mahabbahmahabbah terhadap istri dan anak-anak. Memberi waktu luang untuk sekedar bermain dan bercanda dengan anak-anak agar mereka juga merasa disayangi hingga tidak mencari-cari perhatianmu saat kau ada di rumah… mereka butuh cinta, perhatian dan waktumuwaktumu, bukan hanya butuh uang dan hartamu. Cobalah kau pikirkan Aisyah, ia saat kecil dari segi ekonomi kehidupan kita jauh dari kata baik. , namun ia dilimpahi cinta dan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya, ia tumbuh menjadi sosok anak gadis yang pengertian dan lembut. B… erbeda dengan Indri, engkau sering mengabaikannya, tak pernah memiliki waktu bersamanya. S, ibuk dengan pekerjaan hingga dia selalu berulah saat kau dirumah, yyang salah bukan anak itu, Mas, tapi kamu... ada yang salah dalam hati dan pikiranmu, … ditambah kau terlalu sering membandingkannya dengan kakaknya, padahal ada perbedaan pola asuh di antara mereka."

Hamid semakin terdiam, tak terasa air matanya mengalir deras.

"Jika kau memang ingin memperbaiki hubungan kita, perbaiki dulu hubunganmu dengan anak-anak, mereka lebih membutuhkan cinta dan kasih sayangmu. Aku menolakmu karena menurut dokter aku belum boleh melakukan hubungan badan karena rahimku terluka saat aku terjatuh sekitar setahun yang lalu Dan beberapa bulan lalu karena beberapa kali aku mengangkat berat, , luka rahim itu terbuka kembali. Hingga kini belum benar-benar sembuh. Inilah penyebab aku menolakmu, karena itu pulalah aku memintamu untuk menikahi Anik agar aku tidak terlalu lama menyiksamu."

"Dek mengapa kau tidak menceritakannya padaku, ayoo ke dokter? K, ?"

"Sejak aku terjatuh dan pasca operasi itu apakah mas pernah punya waktu untuk kita ngobrol? Mas selalu pulang larut malam, ketika sampai di rumah mas selalu bilang capek dan ingin tidur saat aku ajak bicara, . Tadi aku sudah ke dokter, kok, seperti biasa aku hanya butuh waktu untuk istirahat dan rutin minum obat" Ucapnya.

Ya Allah, sungguh Hamid merasa egois dan dholim dengan istrinya selama ini. Di saat istrinya tengah menderita Hamid malah mengacuhkan dan berniat melepaskannya. 

Didekapnya tubuh Mentari. Kini Hamid sadar betapa kurusnya tubuh istrinya saat ini. “Ya Allah, ampunilah hamba yang telah salah jalan” batin Hamid menjerit. 

"Maafkan aku, Dek, … aku bersalah. Berilah aku kesempatan sekali lagi…"

Mentari menguraikan pelukkan. 

"Aku memaafkanmu, Mas, aku tak pernah membencimu, aku juga tak pernah sedikit menyimpan amarah kepadamu, bolehkah malam ini aku tidur di pangkuanmu...?"

Hamid tersenyum dan mengangguk.

"Mas, jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu padaku, maukah kau ridho padaku, karena keridhoanmu lah maka Allah akan ridho padaku … dan menjadi sebab terbukanya pintu surga untukku" 

"Dek, jangan bicara yang nggak-nggak… kamu akan sembuh... seperti dulu."

"Semoga saja, Mas. Namun, bolehkah aku meminta satu permintaan, Mas...?"

"Jangankan satu,,sepuluh pun sepuluh pun akan kupenuhi selama aku mampu." Ucap Hamid seraya mengelus kepala istrinya. 

"Selama ini aku tidak pernah bukan meminta sesuatu yang tak pernah bisa kau penuhi?" Katanya sambil tersenyum.

Hamid kembali mengangguk.

"Kali ini mungkin engkau akan kesulitan memenuhinya, namun aku berharap engkau akan memenuhi permintaanku kali ini.. Janji..?"

"Insyaa Allah jika aku mampu"

"Aku akan mengatakan permintaanku besok pagi. aku berharap engkau tidak marah dan benci padaku Se. Skarang aaku ingin tid dipangkuanmuur di pangkuanmu, mungkin ini yang terakhir kalinya," Ucap Mentari sambil memejamkan mata.

"Dek.."

"HssstSsst... Jangan berisik, Mas, dan jangan kurangi waktu dan hakku untuk terakhir kalinya. A… aku mau lebih lama tidur dipangkuanmu, sudah lama kan kau tidak memangkuku…" Ucapnya sambil tersenyum manis.

Hamid mengangguk, tangannya tak berhenti mengelus rambut Mentari 

Kembali dipandangnya wajah Mentari. Dibelai rambutnya, wajahnya yang nampak pucat pasi meski masih terlihat jelas kecantikan di wajahnyadi wajahnya.

Hamid mengutuki diri sendirisendiri yang selama ini terlalu abai terhadap Mentari. Diusap air mata yang mulai tergenang saat mengingat awal pernikahan mereka

Lamunan Hamid kembali pada masa di saat mereka hidup susah dan kelaparan.

Hingga tak terasa mata Hamid mulai mengantuk. Saat hampir saja masuk ke alam mimpi. 

Hamid dikagetkan dengan cengkraman pada tanganya. 

"AstagfirullahAstagfirullah, Dek, kamu kenapa...?!" Tanpa sadar Hamid berteriak

Hamid melihat tubuh istrinya menegang.. Nafasnya tersengal-sengal. Mulutnya mengucap sesuatu...

Mencoba mendekatkan telinga.

"To.. long Ridhoi Ke per… gi… an… ku…mas..."

Hamid menangis.

"Kumo… hon".

Dilihatnya Mentari yang semakin kesulitan bernafas, terpaksa Hamid mengangguk meski sebenarnya tak rela. 

"Aku ridho, Dek..."

Mentari tersenyum sebelum nafasnya kembali tersengal sengal...

"As ha du alla illa ha illa llah... wa as ha du an na mu ham mad dar Ra sul ullah” selesai dia mengucapkan syahadat, tubuhnya menegang dan kejang beberapa saat sebelum akhirnya tubuhnya diam tak bergerak sedikit pun.

Hamid menangis. Dipeluknya tubuh tanpa nyawa sang istri sambil berkaliberkali-kali mengucapkan tauhid di telinga Mentari. Dikecupnya tubuh kaku Mentari yang masih dalam dekapan. Hamid tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya ikut kaku, hatinya terhimpit sesak. 

"Innalilahi wa inna illaihi roji' un, … aku ikhlas dan ridho dengan kepergianmu, Dek, karena hanya dengan ini kau akan tenang di alam sana. Maafkan kekhilafan yang telah t, kuperbuatbiarlah itu menjadi penyesalan yang akan menemaniku hingga akhir hidupku..."

Kembali dipeluknya tubuh Mentari dan diciumi wajah pucat tak bernyawa Mentari untuk yang kesekian kalinya. SSebelum Hamid benar-benar harus merelakan tubuh ini terkubur untuk selama-lamanya.

20 Tahun berlalu..

"Terlalu berat kujalani kehidupan ini tanpamu. Maafkan aku yang tak bisa memenuhi permintaan terakhirmu. Maafkan aku tak bisa menjadikannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak. Maafkan aku jika akhirnya keputusanku membuat anakmu menderita. KarenaKarena aku tidak pernah bisa mencintainya, kau dan dia terlalu jauh berbeda, maafkan aku." Hamid menghapus air mata yang menetes di pipi nya. 

Ditatapnya m yang sudah 20 tahun menjadi tempat peristirahatan terakhir Mentari

Wanita yang sangat Hamid cintai dan sayangi hingga kini. Meski Hamid mengakui sering merasa sepi dan kedinginan.

Namun dia tetap bertahan biarlah menjadi penebus dosanya karenakarena mengabaikan Mentari satu tahun sebelum kepergiannyakepergiannya.

Menjadi pria egois dan tak punya perasaan. Istri sakit bukannya menemani dan menguatkannya, malah asyik dengan wanita lain, bahkan berniat selingkuh.

Mungkin karna do'a-do'a Mentarintari lah yang membuat Hamid terjaga dari perbuatan zina. Meski hati dan pikiran sudah merasai yang namanya zina.

Kini, meski kesempatan ada dan tak kan ada yang melarang dan tersakiti jika Hamid menikah lagi, namun tak pernah sedikitpun ada niat untuk Hamid mencari penggantipengganti Mentari. 

Biarlah penyesalan ini akan dibawa hingga mati. Penyesalan yang tak pernah bisa ditebus meski dia menangis darah.

Kala rindu yang dirasakan Hamid tak terbendung, dia selalu menyalahkan diri sendiri.

Mengapa dulu terlalu abai pada Istri..?



Editor: Difa Septiari Dinarsih dan Tsabita Maula Izzati







Komentar

Popular Posts