[RESENSI BUKU] Novel Laut Bercerita: Dari Tenang dan Dalamnya Lautan.
Judul : Laut Bercerita
Pengarang : Leila S. Chudori
Penerbit : KGP (Kepustakaan Populer Gramedia)
ISBN : 978-602-424-694-5
Tahun terbit : 2017
Tebal : 379 hlm
Dari
Tenang dan Dalamnya Lautan, Biru Laut Bercerita
Penulis resensi:
Adinda Nisrina Maharani
Matilah engkau
mati
Kau akan lahir
berkali-kali....
Begitulah sebait puisi pembuka pada
prolog yang membuat saya seperti tersihir untuk menyelesaikan isi buku sesegera
mungkin. Berlatar pada tahun 90-an, menjadikan novel ini sebagai historical fiction
pertama yang saya baca dan selesaikan. Ketika membaca, saya merasa dilempar
dalam lorong waktu yang seolah membawa diri ini menyaksikan perjuangan
muda-mudi bangsa mencapai impian sebagai negara demokrasi yang memiliki
kebebasan berpendapat di dalamnya. Jika me-nilik dari cover dan judul buku,
orang-orang mungkin tidak menyangka bahwa novel ini adalah novel yang
menceritakan perjuangan, penyiksaan, pengkhianatan, kehilangan, dan penculikan
aktivis mahasiswa pada masa Orde Baru. Novel ini telah diterjemahkan dalam
bahasa Inggris dengan judul “The Sea Speaks His Name” pada tahun 2020
silam.
Kisah dalam novel ini diceritakan
melalui dua sudut pandang, yaitu dari kacamata Laut dan adiknya, Asmara Jati.
Bagian awal hingga tengah buku akan diceritakan melalui sudut pandang Laut,
sesuai dengan judul novel ini, yaitu Laut Bercerita. Mengambil latar pada era
90-an, yaitu masa kelam bagi rakyat Indonesia, terutama bagi aktivis dan tak
terkecuali bagi rakyat kecil. Pasalnya, pada masa Orba masyarakat seolah-olah
dibungkam dan tidak dapat menyuarakan pendapat atau kritiknya bagi penguasa.
Mereka yang dengan lantang menyuarakan aspirasinya akan diburu dan dihukum karena
dianggap sebagai ‘musuh’ yang mengancam keutuhan negara. Mereka yang tidak
sepaham dengan pemerintahan juga demikian, dibungkam dan dihilangkan.
Biru Laut Wibisana, atau yang kerap
kali disapa Laut merupakan seorang mahasiswa program studi Sastra Inggris pada
salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta. Laut dan kecintaannya pada sastra
karya, khusunya karya Pramoedya Ananta Toer yang dianggap ‘kiri’ karena pemikirannya
dianggap bertentangan dengan pemerintahan menghantarkan dirinya bertemu dengan
aktivis lainnya dan tergabung dalam organisasi bernama Winatra yang berafiliasi
dengan Wiratama yang menentang pemerintahan otoriter pada masa Orde Baru.
Karena peredaran buku Pram dianggap dilarang, Laut dan aktivis lainnya yaitu
Kinan, Sunu, Daniel, Alex, Julius, Mas Gala dan Anjani mengadakan diskusi
buku-buku pemikiran dan aksi perjuangan pada sebuah markas di pojokan
Yogyakarta yang dikenal dengan nama ‘rumah hantu’.
Diskusi-diskusi bukanlah akhir dari
perjuangan mereka. Aksi tanam jagung di Blangguan, Jawa Timur yang dilakukan
guna membela hak rakyat Blangguan yang lahannya diambil untuk keperluan militer
adalah salah satu perjuangan Laut dan aktivis lainnya meski dipaksa mundur
karena aksi yang telah tercium oleh aparat lebih dahulu. Bukannya ciut, Laut
dan aktivis lainnya menjadi lebih bertekad untuk bisa membawa demokrasi pada
negeri. Pemerintah yang mulai terusik mulai memburu Laut dan aktivis lainnya.
Diculik, dipukul, disetrum, disiksa, dihilangkan hingga dikhianati dirasakan
oleh para aktivis. Saya dibuat terkejut mengetahui sosok mata-mata pemerintahan
dapat bertahan hingga akhir dan tersenyum atas pengkhianatannya. Hal ini
mengingatkan saya pada perkataan Bram, “Pengkhianat ada di mana-mana, bahkan
di depan hidung kita, Laut... Kita
harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan
menusuk punggung kita...(halaman 30) ”.
Paruh kedua cerita ini mengambil
perspektif dari Asmara Jati, adik perempuan Laut yang bercerita mengenai
keadaan setelah hilangnya Laut. Begitu memilukannya cerita yang disampaikan,
tanpa sadar air mata saya luruh dengan derasnya. Bagian ini diambil dari sudut
pandang keluarga yang kehilangan, yang berusaha menciptakan dunia dimana
anak-anak mereka masih berada di dalamnya dan penyangkalan realita bahwa mereka
telah dihilangkan dan hanya meyakini bahwa suatu saat mereka yang diculik pasti
akan kembali. Asmara yang berduka namun tetap mengedepankan sisi rasionalnya,
lebih keras dalam pencarian Laut dan 13 aktivis yang hilang.
Cerita dalam novel ini terasa begitu
jelas penggambarannya dan sosok Biru Laut juga diceritakan dengan sangat
mendetail meski terdapat kisah fiksi di dalamnya. Hal ini, karena penulis,
Leila melakukan riset mendalam dan melakukan wawancara dengan tokoh yang bersinggungan
langsung dengan kekejaman Orba. Diksi yang digunakan dalam novel ini sangatlah
beragam, dari yang sederhana hingga yang rumit, yang memiliki makna mendalam
sehingga sebagai pembaca merasa terhanyut di dalamnya.
Alur maju mundur yang digunakan pada
novel ini mungkin akan sedikit membingungkan bagi orang yang tidak terbiasa
membaca novel dengan alur campuran. Penokohan yang banyak juga membuat orang
yang jarang membaca akan kesulitan untuk mengingatnya. Salah satu yang
mengganggu hanyalah ditemukannya beberapa kata yang tidak ditulis sesuai PUEBI.
Namun, terlepas dari itu semua, penokohan yang kompleks mampu ditulis oleh
Leila dengan karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Laut Bercerita adalah novel yang sangat layak untuk dibaca. Novel ini dapat menjadi alternatif untuk
mengenal sejarah Orde Baru bagi seorang pemula yang masih kesusahan untuk
memahami novel non fiction dengan latar belakang sejarah. Melalui novel
ini, Leila bermaksud untuk mengingatkan
pembaca mengenai para aktivis yang sampai saat ini belum diketahui
keberadaannya.
Editor: Lulus Anggun
Komentar
Posting Komentar