Benarkah Iman Lemah Penyebab Gangguan Mental? Mari Kita Simak Penjelasannya
Oleh : Kelompok Ganjil Psikologi 5A
UIN Walisongo Semarang
Dari hasil wawancara yang kami lakukan, dapat dihasilkan dua pernyataan terhadap lemahnya iman sebagai penyebab gangguan mental. Menurut sebagian orang beranggapan bahwa lemahnya iman dapat berpengaruh terhadap gangguan mental seseorang. Ketika seseorang merasakan dalam dirinya terdapat gejala akan datangnya stres atau depresi, ada baiknya untuk segera mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan begitu akan menjadi tidak mungkin bila beban pikiran yang menimbulkan stres atau depresi akan berkurang, karena setelah seseorang beribadah pada Sang Maha Kuasa pastinya akan merasa jauh lebih tenang. Hal ini pasti sangat membantu dikala pikiran sedang kalut atau kacau, sehingga potensi untuk stres dan depresi menjadi sangat kecil. Ketika seseorang shalat dan memperdalam ilmu agama maka ia akan lebih menghadirkan Tuhan dalam dirinya dan kemudian memohon agar diberikan jalan keluar dari setiap masalah,belajar sabar dan ikhlas di setiap menghadapi masalah, namun sebaliknya bila ia tidak menghadirkan Tuhan dalam dirinya maka ia akan merasakan kecemasan yang sangat ketika dilanda masalah karena tidak dapat menyandarkan masalahnya dan meminta bantuan kepada Dzat yang maha kuasa.
Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa stress, depresi atau psikoefek, dan lainnya terjadi karena adanya stressor yang cukup kuat. Selain itu lingkungan dapat mempengaruhi hal tersebut, contohnya saat seseorang sedang membutuhkan support tetapi dia tidak mendapatkannya ditambah lagi stressor pada seseorang tersebut kuat maka menjadi tidak mungkin bahwa seseorang tersebut akan menjadi depresi. Kemudian tebal dan tipisnya iman seseorang tidak sepenuhnya mempengaruhi hal tersebut. Agama mengajarkan tiap umatnya sabar, ikhlas atas cobaan dimana cobaan ini bisa diibaratkan sebagai stressor. Ketika seseorang dilanda masalah ada sebagian yang sangat sabar dan tabah, namun ada juga yang tidak sabar dan larut dalam emosi. Pada intinya ketebalan iman seseorang tidak menjamin akan terhindar dari stress, depresi bahkan gangguan mental lainnya.
Dilihat dari pengaruh lingkungan seseorang kurangnya perhatian dari orang tua dan orang-orang di lingkungannya merupakan hal yang memperburuk keadaan seseorang saat dilanda masalah, sehingga merasa sendirian ketika sedang menghadapi masalah. Karena merasa tak dipedulikan individu tersebut merasakan cemas,takut,dan bingung bagaimana melepas emosi di dalam dirinya,karena merasa tidak ada orang yang peduli dengannya,sehingga tidak tahu untuk bercerita ke siapa, yang akhirnya emosi tersebut terus menumpuk di dalam pikirannya dan menyebabkan depresi.
Berkaitan dengan beragamnya pendapat masyarakat mengenai pengaruh iman terhadap gangguan mental, peran agama tidak lepas dari pembahasan ini. Dalam kehidupan manusia, agama merupakan seperangkat sistem nilai yang mengandung norma tertentu yang mengatur segala aspek kehidupan manusia yang secara langsung memengaruhi pola pikir dan pola bersikap manusia yang meliputi intelektual, emosional, dan behavioral. Sebagai sistem nilai, agama dijadikan motivasi dalam menjalani kehidupan, agama juga memberi makna dalam tindakan yang dilakukan sehingga dalam menganut agama, manusia akan berani berkorban secara jiwa, raga, serta harta. William James, seorang ahli psikologi dari Amerika Serikat mengatakan bahwa tidak ragu lagi bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah keimanan kepada Tuhan. Keimanan kepada Tuhan adalah salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak harus dipenuhi untuk membimbing seseorang dalam hidup ini. Selanjutnya dia berkata bahwa antara manusia dan Tuhan terdapat ikatan yang tidak terputus. Apabila manusia menundukkan diri di bawah pengarahan-Nya, cita-cita dan keinginan manusia akan tercapai (Ancok J, 1998:67).
Secara lebih spesifik, agama memiliki peran dalam kesehatan mental manusia, di antaranya yaitu agama mengajarkan keyakinan kepada setiap hamba-Nya untuk berserah diri kepada Tuhan, sehingga dapat memberikan energi positif serta sikap optimis pada diri individu yang dapat menjadikan individu memiliki rasa tenang, aman, bersikap positif, merasakan kebahagiaan, merasa aman, dicintai, bahkan meraih kesuksesan yang diinginkan. Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadikan manusia kembali ke dalam fitrah-Nya, yaitu dengan memiliki kesehatan jiwa dan raga sebagai umat beragama.
Selain itu, agama memiliki perintah yang bersifat menekan seluruh pemeluknya untuk selalu melaksanakan perintah tersebut secara rutin dengan baik, hal ini cukup logis untuk menentukan kesehatan mental seseorang. Pelaksanaan agama dalam bentuk perintah seperti ibadah, kurang lebih memiliki pengaruh dalam menumbuhkan keluhuran budi yang kemudian dapat menumbuhkan perasaan sukses dalam menyembah Tuhan serta ketentraman hati sebagai hasilnya. Selain itu, ibadah yang dilakukan pemeluk agama juga memberi makna untuk menjalani hidup secara lebih baik. Sebagai ciptaan Tuhan, sudah pasti sisi jasmani dan rohani dalam diri manusia tidak dapat dipisahkan, sehingga manusia membutuhkan perlakuan yang dapat memenuhi kebutuhan kedua sisi tersebut.
Sebagai penguat iman pada manusia, yang dapat memberikan implementasi kepada ketenangan, ketentraman, serta keselarasan, yang pada akhirnya dapat memberikan kesehatan pada kondisi mental individu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan ibadah, seperti membaca dzikir, sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya yang telah dikaji oleh para Ilmuwan muslim yang menghubungkan adanya peranan antara penguatan iman dengan menjalankan ibadah dengan kesehatan mental manusia. Dalam Psikologi agama atau Psikologi Islam, hal tersebut biasa disebut dengan ilmu nafs. Henry Link, seorang ahli jiwa Amerika mengatakan berdasar pengalamannya yang lama dalam menerapkan percobaan-percobaan kejiwaan atas kaum buruh dalam proses pemilihan dan pengarahan profesi yang hasilnya bahwa pribadi yang religius dan sering mendatangi rumah ibadah mempunyai kepribadian yang lebih kuat dan baik ketimbang pribadi-pribadi yang tidak taat menjalankan agamanya (Al-Qardawi, 1978: 343).
Berikutnya, agama dapat merawat kesehatan rohani atau jiwa. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peran yang signifikan antara agama dengan proses penyembuhan seperti adanya hubungan yang positif antara keterlibatan atau peran agama dengan psychological well being dan dalam hal meminimalisir gejala psikiatri pada pasien dengan gangguan kejiwaan yang bertujuan menjaga kesehatan mental individu. Adapun survey yang pernah dilakukan dengan subjek sejumlah 1824 pasien dengan gangguan kejiwaan menghasilkan bahwa gangguan tersebut dapat diminimalisir atau menjalani proses penyembuhan sejumlah 90% merupakan orang-orang yang taat dalam beragama atau memiliki sisi religiusitas yang tinggi. Berdasarkan survey tersebut dapat diketahui bahwa dari segi agama dan spiritualitas individu terdapat kekuatan terapeutik yang berkaitan dengan psychological well being yang dapat menurunkan atau meminimalisir gangguan jiwa.. Najati mengutip pendapat Carl Gustav Jung yang mengatakan bahwa selama tiga puluh tahun yang lalu, pribadi-pribadi dari berbagai bangsa di dunia telah melakukan konseling dengannya dan diapun telah banyak menyembuhkan para penderita gangguan jiwa. Semua pasien yang pernah diobatinya yang usianya di atas tiga puluh lima tahun memiliki problem yang bersumberkan pada kebutuhan akan agama. Pasien tersebut telah kehilangan sesuatu yang diberikan oleh agama. Pasien tersebut baru sembuh setelah mereka kembali pada wawasan agama (Najati, 1985: 287-288).
Kesehatan mental yang terganggu memang akan sangat mengganggu baik mengganggu penderitanya atau bisa juga orang-orang disekitarnya. Banyak kalangan masyarakat beranggapan bahwa gangguan mental disebabkan karena lemahnya iman seseorang, sehingga ia mudah dirasuki roh jahat yang akhirnya kondisi tersebut dikaitkan dengan hal-hal gaib serta kepercayaannya. Opini seperti ini tidak disalahkan namun juga sangat tidak baik jika dibenarkan, anggapan tersebut muncul bisa saja disebabkan karena kurangnya pengetahuan, karena unsur kebudayaan serta kepercayaan di masyarakat setempat, serta bisa karena kurangnya psikoedukasi tentang kesehatan mental. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan mental membuat penilaian masyarakat terhadap pengidap gangguan kesehatan mental menjadi negatif. Oleh karena itu kita sebagai individu harus bisa menyikapi dan bersikap tentang hal tersebut secara benar misalnya kita bisa berikan psikoedukasi mengenai kesehatan mental, jelaskan bahwa tingkat keimanan seseorang bukan satu-satunya penyebab seseorang mengalami kesehatan mental, banyak sekali yang menjadi penyebab seseorang mengalami gangguan kesehatan mental misalnya faktor genetik, cacat jasmaniah yang membuat mereka malu dan menderita batinnya, pengalaman hidup yang pernah dialami, seperti stres atau pernah memiliki riwayat pelecehan, terutama jika trauma terjadi pada masa kanak-kanak. Perlu kita garis bawahi, sebenarnya Iman yang lemah tidak menyebabkan gangguan mental, tetapi gangguan mentallah yang dapat menyebabkan lemahnya iman. Ketika seseorang mengalami gangguan mental, ada dua hal yang mempengaruhi imannya menjadi lemah yaitu:
a. Berkurangnya kuantitas dan kualitas dalam beribadah, Ketika seseorang mengalami gangguan mental, ia akan merasa tidak memiliki energi menggerakkan diri dari tempat tidur, berwudhu, dan sholat wajib. Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus, maka akan semakin jauh dari Allah Swt.
b. Mudah terpengaruh bujuk rayu setan
Gangguan mental menjadikan otak bekerja lebih lambat dari biasanya dan lebih sulit untuk mengendalikan akal pikiran. Pikiran akan selalu memikirkan hal-hal negatif sehingga seseorang akan membenci dirinya sendiri. Ketika hal ini terjadi, maka sangat mudah terpengaruh oleh bujuk rayu setan.
Lantas, bagaimanakah sikap kita terhadap orang yang menganggap bahwa gangguan mental disebabkan oleh lemahnya iman? Sikap yang tepat sebagai orang yang mengerti tentang gangguan jiwa adalah sesuai dengan pasal 7 ayat 1 yang menerangkan mengenai upaya promotif kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:
a. Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat secara optimal.
b. Menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari masyarakat.
c. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa.
d. Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa.
Berdasarkan opini yang diperoleh pengaruh iman terhadap gangguan mental ini menghasilkan pendapat yang berbeda, yang mana terdapat pernyataan pro dan kontra pada masalah ini. Terdapat penyataan yang mengatakan bahwa lemahnya iman berpengaruh terhadap gangguan mental seseorang hingga membuat seseorang terhasut oleh hal negatif yang mengakibatkan seseorang merasakan stres atau depresi, alangkah baiknya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta untuk memperoleh ketenangan dan meringankan stres. Yang mana penyataan ini didukung dengan hadist yang diriwayatkan oleh Hudzaifah RA, ia berkata; “Jika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam merasa gundah karena sebuah perkara, maka beliau menunaikan shalat (HR. Abu Daud). Hal ini tentu saja memiliki arti penting salat untuk menciptakan rasa tenang dan tentram pada jiwa seseorang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 153 yang berbunyi
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُوا اسْتَعِÙŠْÙ†ُÙˆْا بِالصَّبْرِ ÙˆَالصَّÙ„ٰوةِ ۗ اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ Ù…َعَ الصّٰبِرِÙŠْÙ†َ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar”. Dari ayat itu menjelaskan tidak saja melimpahkan nikmat-Nya, Allah juga menimpakan berbagai cobaan kepada orang yang beriman. Karena itu, Allah meminta mereka bersabar dan terus melaksanakan shalat. Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah, baik dalam rangka melaksanakan kewajiban, menjauhi larangan, maupun menghadapi cobaan, yaitu dengan sabar dan shalat yang disertai rasa khusyuk, Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar dengan memberikan pertolongan dan keteguhan hati dalam menghadapi segala cobaan.
Selain pernyataan yang mendukung mengenai pengaruh iman terhadap gangguan mental, banyak juga pernyataan yang mengatakan bahwa gangguan mental terjadi disebabkan oleh faktor genetik, cacat jasmaniah, faktor lingkungan, keluarga, sosial dan budaya.
Kurangnya pemahaman akan gangguan mental itulah yang menciptakan berbagai pendapat pro dan kontra, oleh karena itu, perlu dilakukan psikoedukasi yang jelas mengenai kesehatan mental oleh sekelompok profesional.
Referensi :
Al-Qardawi, Y. (1978). Al-Iman Wa Al-Hayah. Mesir: Wahbah.
Ancok, J. (1998). Agama dan Psikologi. Jurnal Tarbiyah UIN SUKA, 67.
Azisi, A. M. (2020). Peran Agama dalam Memelihara Kesehatan Jiwa dan Kontrol Sosial Masyarakat. Jurnal Psikologi Islam11 (2). Hal 55-75.
Fuad, I. (2016). Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur'an dan Hadits. Jurnal An-nafs: Kajian dan Penelitian Psikologi. 1(1). Hal 31-50.
Haris, A. (2008). Studi Komparasi Konsep Zakiah Daradjat dan Dadang Hawari tentang Gangguan Mental dan Penanggulangannya (Doctoral dissertation, IAIN Walisongo).
Lubis, A. (2016). Peran Agama Dalam Kesehatan Mental. Ihya' Al'Arabiyah-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab. Vol 2 No 2. Hal 280
Najati, M. (1985). Al-Qur'an dsn Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka.
Yusuf, A.-Q. d. (1978). Al-Iman Wa Al-Hayah. Mesir: Wahbah.
Komentar
Posting Komentar