Memetik Daun Keberuntungan
“Aku ingin mewarisi tabiat nilai (A), Ia selalu
menjadi penyelamat bagi nilai-nilai yang lain. Aku juga suka dengan nilai (B),
Ia selalu memberi rasa aman. Apalagi dengan karakter (C), Ia selalu menegur
Tuannya agar pandai mengevaluasi diri.”
Di pucuk
semester 3 Aku merasakan debar jantungku
berjingkat-jingkat menantikan nilai IP keluar. Berharap semua nilai saling bahu membahu
menjunjung tinggi martabat Tuannya.
Pagi ini dipenuhi
dengan konser para itik berpiak-piak,
kicauan burung menyiul-nyiul, suara hewan pengerat tenggelam timbul dan beberapa
ayam jago berkeok-keok mengais
rezeki. Pagi yang cerah dengan suasana alam yang masih asri. Au, Bo, dan Ci juga ada di situ ikut menikmati rahmat alam yang tak
ternilai indahnya. Semesta ini sudah sempurna dalam komposisi
penciptaannya. Entah siapa yang memilikinya pastilah mereka seniman yang begitu
handal. Mencipta binatang dari berbagai rupa, menumbuhkan tanaman dari berbagai
jenis, meninggikan pohon-pohon yang menjulang dengan sendirinya untuk dapat
kami nikmati sebagai tempat bernaung dan
melukis langit dengan berbagai warna di
waktu yang berbeda. Setiap pagi memang hari dimana setiap keadaan patut disyukuri. Jauh di kata ramai, pagi ini mereka bertiga memilih ngopi di sebuah
pondok buatan di tengah hutan. Merelakan
jalan-jalan pagi mengelilingi rimba raya demi menengguk asa dari secangir kopi
tanpa rasa.
Ketika mereka bertiga sedang berbincang tawa, De sekonyong-konyong datang, membuyarkan candaan mereka.
"Ada apa De? Kau terlihat letih sekali," tanya Bo dengan nada
datar.
"Aku tidak
apa-apa teman-teman.”
“Apa kau yakin?” tanya Ci memastikan.
“Aku hanya sedikit iri pada kalian."
"Mengapa
kamu iri De?"
"Sepertinya
hidupku tidak berguna bagi tuanku Au."
"Mengapa
begitu De? Kau ini kenapa
sih!? Usah Kau dengar apa kata orang. Nilai-nilai seperti kita selalu menghiasi
IP Mahasiswa kan?" Ci selalu
mendukung De untuk segala
hal, tetapi caranya menyampaikan nasihat suka menggebu-gebu sehingga dikira
marah-marah. Padahal hatinya sangat baik.
"Tetapi Aku
malu, Tuanku tidak pernah menginginkan kehadiranku."
“Apa? Kau ini nilai D. Kau adalah pemilik dari orang
yang malu-maluin. Pas lah satu paket, nilainya bikin malu, nah yang punya
malu-maluin,” jawab Bo dengan puas hati.
Ci selaku sahabat De membantah dengan keras, “Kau
ini apa-apaan sih Bo!? Kau tidak boleh begitu, De adalah teman kita. Tidak usah
sombong kamu. Memangnya nilaimu itu sempurna apa! Ingat masih ada Au yang
memiliki kedudukan tertinggi!”
“Hadeh.
Santai donk ngegas banget. Aku kan Cuma becanda, ya elah luh tuh kan logat gaul gue keluar.”
Selain suka ceplas-ceplos Bo memang suka bercanda.
Bahkan rekor becandanya yang paling pecah adalah saat menipu Ci kalau semester
ini teman-teman sejenisnya akan bergabung. Ci sangat senang. Saking senangnya
dia berlari-lari di hutan sambil hujan-hujanan. Keesokan harinya jatuh sakit, ketika itu Bo mengaku bahwa semester ini tuannya tidak mengundang nilai C
yang lain. Hanya dirinya seorang. Ci langsung jatuh pinsan. Sehingga semakin
menambah demamnya berhari-hari. Anggap
saja mereka seperti anak-anak yang becandanya kelewatan. Hehe
“Sudah teman-teman. Jangan bertengkar, De
membutuhkan kita sekarang,” lerai Au dengan penuh ketenangan
Usut punya usut
D adalah nilai yang dianggap sial bagi hampir seluruh mahasiswa, kesialan itu
juga berdampak pada kondisi psikologis seseorang yang memeliharanya. Selain
menjerumuskan mahasiswa pada nilai yang terjun ke lembah minim beban SKS, tidak sedikit yang
menjadi stres karena alamat wisuda akan
lama
diakses.
"Kemarilah
De, mungkin ini akan menjadi
topik pembicaraan kita pada hari ini," ajak Au menentramkan De.
Au pun begitu, dia sangat bijak dan tenang dalam
menghadapi setiap masalah. Katanya, tidak perlu bersikap panik, tenang saja.
Panik hanya akan menambah kepanikan kita berlipat-lipat sehingga kita akan
semakin panik akibat kepanikan itu.
"Kalian
sangat baik teman-teman, terimakasih, " De menyeka ujung
matanya, dan menatap satu persatu sahabatnya itu dengan lekat-lekat.
Hari ini, Pondok
di tengah hutan itu menjadi saksi bisu atas prinsip, tabiat, dan tanggungjawab
yang mereka emban. Au membuka obrolan
pertama untuk menghibur De.
"Teman-teman,
seperti yang kalian tahu aku adalah A, aku adalah nilai tertinggi dalam IP
semester. Dan kalian tahu persis meski eksistensiku dijunjung setinggi langit,
Aku tetap memiliki tanggungjawab untuk menguji kebenaran keberadaanku. Dan
tugasku adalah melengkapi nilai-nilai yang lain seperti Bo, Ci dan kamu De. Untuk apa nilai dalam sebuah IP berisikan namaku
semua? Justru itu akan kelihatan aneh. Kewajiban
mahasiswa
adalah belajar, kesempurnaan itu mungkin ada tetapi tidak dapat di raih tuan-tuan kita untuk
saat ini. Mereka perlu Aku untuk menambah semangat, mereka perlu Bo untuk mengokohkan usaha, mereka perlu Ci untuk menyadarkan bahwa belajar itu penting. Dan
mereka juga harus menerima konsekuensi jika harus memilihmu sebagai kandidat
nilainya. Bukan Kau yang salah, mereka yang memilihmu sendiri. Apa kau paham
sekarang? " kata-kata Au menggema di langit-langit pondok,
menarik perhatian beberapa serangga dan tokek.
"Waw, itu
jawaban yang keren sekali Au," Bo menepuk-nepuk bahu Au dengan penuh
takjub.
"Aku
sedang bertanya pada De bukan padamu Bo."
"Ups
Sorry."
"Terimakasih
Au. Sungguh, nasehatmu
banyak benarnya. Memang betul keberadaanku bukan semata-mata Aku yang menginginkan.
Tetapi itu karena ulah tuanku sendiri,” De mulai menemukan titik terangnya.
"Ayolah De, Kau tidak boleh begini. Kita berdua memiliki tugas
yang sama. Bahwa kita harus menyadarkan Tuan-Tuan kita agar mereka terus
berbenah dan mengevaluasi diri. Kau tau? Kadang-kadang kehadiran kita berdua
adalah buah kejujuran yang mereka lakukan. Nilai kita tidak selalu buruk De. Aku juga bangga pada Tuanku, dia begitu tegar dan
tidak mempermasalahkan ini. Karena
dia percaya inilah hasil kerja kerasnya. Inilah parameter
kemampuannya. Tentu saja dia mendapatkanku
karena dia pernah dua kali absen, tidak paham materi lalu saat mengerjakan kuis
pun nilainya jauh di kata bagus ketimbang teman-temannya. Tetapi aku sangat
bangga padanya De, dia
benar-benar memegang erat prinsip-prinsip kejujuran. Kau lihat saja, walaupun
dalam IP nya dihiasi namaku. Dia akan selalu diikuti oleh keberuntungan.
Kejujurannya tidak akan pernah sia-sia. Aku juga ingat akan petuah yang gurunya
pernah bilang begini ‘Meski prinsip
instansi pendidikan harus mengaksaran ilmu dengan angka, bukan berarti yang
bernilai rendah adalah cerminan kerendahan dirinya. Kami tetap menghargaimu,
kami tetap mengapresiasi upayamu dalam belajar. Angka semata-mata hanyalah
instrumen sebagai pemantik agar kau terus mengembangkan diri. Ayo jadilah
pembelajar sejati supaya ilmumu tidak teronggok jauh di dasar pikiran sampai
akhirnya lapuk di telan waktu. Itu kalimat yang
beliau katakan. Benar-benar
menentramkan bukan? "
Au, Bo dan De saling menatap heran dan memandangi Ci dengan mulut
menganga lebar. Mereka mengucek-ucek matanya barangkali ini hanya mimpi. Ketiganya terbelalak tidak percaya.
Sejak
kapan Ci menjadi bijak
begini? Setahu mereka, Ci tidak pernah
mengeluarkan kata-kata selain dengan cara menggebu-gebu. Edan iki cah, suangare poouull.
"Sejak
kapan Kau jadi bijak begini Ci? Biasanya logat
bicaramu seperti orang pesisir. Menggebu-gebu macam orang lagi
marah-marah, " goda Si Bo.
Tentu saja Ci menyangkalnya, "Apa Kau bilang? " Ci bersungut-sungut membalasnya.
"Hehe
becanda, "
Sekarang De sudah lebih tenang dan terbuka. Pola pikirnya tidak
sesempit kamar anak kos. Setelah ngobrol
dengan teman-temannya, kini beban pikirannya meluap
menjadi samudera penerimaan yang berpilin dalam benak.
Jangan selalu bangga mendapat nilai raksasa kawan, pun jangan mudah merendah terhadap nilai yang
kerdil. Nilai baik memang akan membawa dampak baik seperti berpeluang mendapat
beasiswa, melanjutkan pendidikan di luar negeri, maupun mendapat penghargaan di
kampus. Tetapi yang demikian itu tidak selalu benar meski sedikit banyak
dipandang baik. Pun nilai tinggi bukan satu-satunya faktor penentu kesuksesan.
Cukup berusaha dengan segenap kejujuran. Lihat saja, nasib akan berpihak dengan
orang-orang jujur dari pada orang-orang pandai. Toh nilai bukanlah prinsip utama
dalam menuntut ilmu. Yang harus diutamakan adalah bagaimana kita dapat
mengembangkan bakat dan skill kita dengan ilmu yang kita peroleh selama di
kampus. Lalu hargailah ilmu itu dengan mengamalkannya untuk diri pribadi dan
masyarakat sekitar. Itu prinsip menuntut ilmu. Jangan pernah lupakan itu. Maka
sekarang pikirkanlah tanggungjawab yang sejatinya kamu emban atas nilai yang
sudah kamu peroleh. Jika mau banggga, bangga untuk apa? Pertimbangkan baik-baik
jangan sampai kebanggaanmu keliru. Jangan sampai nilai yang kau cari selama ini
adalah sesuatu yang tidak bernilai sama sekali.
Penulis: Indriyani
Penulis: Indriyani
Komentar
Posting Komentar