[Resensi Buku] "Keajaiban Toko Kelontong Namiya"

WEEKLY POST

"Manusia sering sudah punya jawaban di hati. Mereka hanya butuh keberanian untuk menjalankannya"

(Cr: Pinterest)

Penulis: Widia Astuti


Identitas Buku

  • Judul: Keajaiban Toko Kelontong Namiya (Namiya Zakkaten no Kiseki)
  • Penulis: Keigo Higashino
  • Penerjemah: Faira Ammadea
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Tebal: 404 halaman
  • Tahun Terbit: 2020 (edisi bahasa Indonesia)
  • Genre: Realisme Magis, Fiksi Filosofis


Sinopsis Singkat

Toko Kelontong Namiya bercerita tentang tiga pemuda yang sedang melarikan diri danbersembunyi di sebuah toko tua. Tanpa disangka, mereka menemukan kotak surat yang membawa mereka pada surat-surat permohonan nasihat dari masa lalu. Toko ini dulunya dijalankan oleh Namiya Yuji, seorang pemilik toko yang bersedia memberi nasihat kepada siapa pun lewat surat. Dalam satu malam yang ajaib, ketiga pemuda itu menjadi penerus sementara "penasehat kehidupan", dan pengalaman ini mengubah cara pandang mereka terhadap kehidupan, masa lalu, dan masa depan.


Analisis Struktur & Gaya Bercerita

Higashino merajut cerita bak mozaik waktu dengan teknik non-linear yang cemerlang:

  1. Bab 1 (2012): Tiga penjahat pemula menemukan surat pertama.
  2. Bab 2 (1980): Kisah Katsuro, pemuda terbelah antara jadi musisi atau meneruskan usaha ikan keluarga.
  3. Bab 3 (1970-an): Asal-usul Kakek Namiya membuka "jasa konsultasi surat".
  4. Bab 4 (2012): Mantan penggemar The Beatles yang terlibat skandal korporasi.
  5. Bab 5 (1980): Gadis yatim piatu jadi hostes demi balas budi nenek angkat 12.
Setiap bab seperti cerita mandiri, tetapi benang merahnya terhubung dalam klimaks yang memukau. Alur ini mengingatkan pada Cloud Atlas (David Mitchell), namun dengan kehangatan khas Jepang.

Isi
Dalam psikologi, khususnya dalam teori perkembangan Erik Erikson, individu mengalami berbagai krisis identitas sepanjang hidupnya. Tiga pemuda dalam cerita ini yang awalnya nihilistik, terasing, dan berperilaku menyimpangmengalami transformasi psikologis setelah membaca dan menanggapi surat-surat penuh masalah dan harapan. Ini mencerminkan proses pembentukan identitas dan makna hidup.
Mereka mulai merefleksikan masa lalu, menyadari potensi empati, dan mulai mencari arah hidup yang lebih bermakna.

Dengan membalas surat dari orang-orang yang sedang dilanda dilema hidup, para tokoh muda mengalami proses empatik yang dalam. Mereka belajar menempatkan diri dalam posisi orang lain, memahami kompleksitas keputusan hidup,
dan pada akhirnya memahami diri mereka sendiri. Ini juga mencerminkan proses proyeksi di mana pengalaman orang lain menjadi cermin atas konflik batin mereka sendiri.

Tokoh-tokoh yang mengirim surat sering kali berada dalam keadaan stres, depresi, atau kebingungan eksistensial. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang membutuhkan ruang aman untuk bercerita dan mendapat arahan. Konsep ini paralel dengan psikoterapi naratif, di mana seseorang menemukan kelegaan dan pencerahan dengan menceritakan kisah hidup mereka.
 
Kelebihan
  1. Alur yang unik dan menyentuh: Cerita yang dibangun dengan konsep surat menyurat lintas waktu memberikan kesan ajaib dan emosional, menyentuh sisi kemanusiaan pembaca.
  2. Mengandung nilai psikologis yang dalam: Novel ini memperlihatkan proses transformasi emosi dan karakter, baik dari pengirim surat maupun tokoh utama. Membaca novel ini seperti mengalami sesi refleksi dan konseling tidak langsung.
  3. Mengangkat nilai-nilai sosial dan solidaritas: Dalam perspektif sosiologi, novel ini menggambarkan kerinduan akan komunitas yang saling peduli di tengah dunia yang semakin individualistik.
  4. Bahasa yang sederhana tapi kuat makna: Gaya bahasa yang ringan namun penuh makna membuat pembaca mudah larut dalam cerita.
  5. Mengajarkan empati dan makna tolong-menolong: Novel ini memperlihatkan bagaimana tindakan kecil seperti memberi nasihat bisa membawa perubahan besar dalam hidup orang lain.

Kekurangan
  1. Alur campuran waktu yang mungkin membingungkan: Bagi sebagian pembaca, alur maju-mundur dan surat lintas waktu bisa membingungkan, terutama di awal cerita.
  2. Karakter tidak dijelaskan terlalu mendalam: Beberapa tokoh hanya muncul sekali dalam surat, sehingga pengembangan karakternya terbatas. Hal ini bisa membuat pembaca sulit merasa terikat secara emosional pada semua tokoh.
  3. Terlalu idealis atau “dongeng” untuk sebagian orang: Transformasi tokoh dan penyelesaian masalah kadang terasa terlalu cepat atau "ajaib", sehingga bagi pembaca yang menyukai realisme keras, ini bisa terasa kurang realistis.
  4. Minim konflik besar di luar dilema pribadi: Tidak ada antagonis utama atau konflik besar di luar masalah kehidupan sehari-hari, sehingga bagi pembaca yang mencari ketegangan atau aksi, cerita ini bisa terasa datar.
Editor: Difa Septiari Dinarsih 

Komentar

Popular Posts