[OpiniDi Balik Atraksi Memukau : Perbudakan dan Eksploitasi Sumber Daya

 

WEEKLY POST

(Cr: Google)

Penulis: Dienita

Miris, atraksi yang justru kita nanti-nanti dengan bahagia justru berkisah tragis dibalik aksi-aksinya yang memukau terdapat kesengraan yang besar yang dirasakan oleh pekerjanya. Pada berita yang diunggah oleh Mongabay pada tanggal 3 Juli 2019 komunitas pecinta satwa melakukan aksi unjuk rasa terkait penggunaan lumba-lumba dalam sirkus sebagai sarana edukasi.  Aksi tersebut dilakukan di Kota medan, Sumatera Utara. Kemudian juga melakukan tuntutan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Ketahanan (KLHK), untuk tidak memberikan izin sirkus lumba-lumba. Para pencinta satwa ini juga mempertanyakan komitmen KLHK melindungi dan menjaga lumba-lumba. Satu sisi, KLHK membuat aturan perlindungan, lain sisi malah memberikan izin menampilkan atraksi lumba-lumba. KLHK, katanya, dianggap turut andil menyiksa lumba lumba dengan mengeluarkan izin, disebutkan bahwa terdapat tiga pihak yang mendapat izin mengadakan sirkus lumba-lumba, antara lain Taman Safari, Ancol, dan WSI. Taman Safari telah menghentikan sirkus lumba-lumba tersebut, namun Ancol, dan WSI masih tetap melakukan atraksi atau sirkus lumba-lumba saat itu.

(Cr: Google)

Eksploitasi dalam sirkus kembali mencuat, belakangan ini pekerja sirkus di Taman Safari Indonesia atau yang sering disebut Oriental Circus Indonesia menggemparkan berita perbudakan manusia yang terjadi dalam sebuah sirkus. Taman safari yang dimiliki oleh Tony Sumampau, Frans Manansang, dan Jansen Manansang dilaporkan oleh para pekerja sirkus yang diduga di eksploitasi sumber daya oleh pemilik sirkus tersebut. Dalam berita Tempo yang diunggah pada tanggal 21 April 2025 menyebutkan bahwa perwakilan korban eksploitasi oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) dan Taman Safari Indonesia (TSI) melaporkan tuntutannya kepada Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Bapak Mugiyanto, yang bertempat di kantor Kementrian HAM, Jakarta Selatan, pada tanggal 15 April 2025. Dalam tuntutannya tersebut, salah satu korban bernama Meliliana Damayanti mengaku bahwa dirinya pernah dijejeli kotoran hewan, dirantai, bahkan dipisahkan dari anak kandungnya sendiri oleh pemilik dan pengelola OCI. Kemudian laporan lain diungkapkan oleh seorang wanita bernama Butet yang mengaku bahwa dirinya tidak pernah mengetahui siapa orang tua aslinya karena sudah sedari kecil ia di ambil oleh pemilik OCI sejak tahun 1975. Bahkan nama Butet tersebut diberikan oleh Pemilik OCI, hingga saat ini ia tidak mengetahui nama asli pemberian orang tuanya. Selain itu Butet mengaku beberapa kali mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi saat ia menjadi pemain sirkus di Taman Safari Indonesia, dimana ia sempat dipaksa untuk memakan kotoran hewan karena ia pernah mencuri daging empal saat berusia 10 tahun. Hal lain juga dirasakan oleh butet yang mengalami perlakukan buruk, ia pernah di pukul dan dirantai kakinya oleh pemilik OCI. Ia mengaku bahwa tidak pernah merasakan kasih sayang dan belum pernah mendapatkan pendidikan formal sekalipun. Selain itu Butet juga pernah melakukan hubungan dengan seorang karyawan disana saat ia berusia 17 tahun, karena ia melanggar aturan maka ia dirantai sampai kesulitan untuk buang air yang harus dibantu oleh teman-temannya. Dari hubungan tersebut ia hamil seorang anak, yang saat ia berusia delapan bulan hingga setelah melahirkan ia tetap dipaksa terus beraktraksi di panggung sirkus sampai ia tidak bisa menyusui anaknya sama sekali. Kemudian pihak OCI memisahkan Butet dengan anaknya yang dibawa ke kediaman pemilik OCI di Pondok Indah. Mirisnya anak tersebut yang bernama Debora/ Debby dibesarkan untuk dilatih menjadi pemain sirkus seperti ibunya, yang saat ini ia berusia 16 tahun. Selain itu mereka juga menjelaskan bahwa kasus ini telah dialami sejak tahun 1970-an. Disebutkan dalam berita Antara Jatim yang diunggah pada hari Senin tanggal 21 April 2025, kuasa hukum mantan pemain sirkus OCI Muhammad Sholeh meminta kasus ini dijatuhi kedalam pelanggaran HAM berat yang masuk dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dari dua berita tersebut terkait eksploitasi sumber daya dalam sirkus seharusnya menjadi perhatian yang lebih terkait cara pengambilan sumber daya, cara memperlakukan, cara melatih dan cara memberikan perizinan terkait sirkus oleh pemerintah dan pengelola atau pemilik sirkus. Meskipun dalam UU No. 5 Tahun 1990 pasal 21 ayat 2 terkait konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang berbunyi "Melarang setiap orang untuk menangkap, melukai, membunuh, memelihara, memperdagangkan satwa yang dilindungi tanpa izin." Kemudian juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang terkait peternakan dan kesehatan hewan, yang berbunyi pada pasal 66 "Setiap orang dilarang memperlakukan hewan secara tidak layak," "Perlakuan tidak layak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi tindakan yang menyebabkan hewan menderita secara fisik/ psikologis, tidak sesuai dengan etika dan norma kesejahteraan hewan serta mengabaikan kesehatan dan keselamatan hewan." Namun, dalam kenyataannya masih banyak eksploitasi yang dilakukan dalam sirkus, terlebih lagi berita yang baru-baru ini terkait eksploitasi manusia dalam sirkus, sehingga hal tersebut menunjukkan masih kurangnya perhatian dan kurang berfungsinya undang-uandang terkait pengendalian penyelenggaraan sirkus.

Dari kasus tersebut seharusnya menjadi perhatian yang lebih, baik pemerintah dalam mengawasi dan mengendalikan serta pembuatan undang-undang terkait penyelenggaraan sirkus serta kesadaran atas hak asasi sumber daya oleh pemilik sirkus. Sehingga sirkus dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan prosedur HAM dan tanpa adanya eksploitasi sumber daya.

Editor: Difa Septiari Dinarsiih

 

Komentar

Popular Posts