[Opini] Darurat Kekerasan Seksual Ketika Tempat Aman Menjadi Tempat Ancaman
WEEKLY POST
Penulis: Zahra Nur Azizah
Belakangan
ini, Indonesia menghadapi peningkatan kasus kekerasan seksual yang cukup meresahkan terutama bagi perempuan.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan
dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan bahwa hingga 12 Maret 2025, terdapat 4.882
kasus kekerasan, dengan 4.196 korbannya adalah
perempuan. Kekerasan seksual
menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, mencapai 26,94% dari
total kasus. Kasus terbaru yang menarik perhatian
publik adalah dugaan pemerkosaan oleh seorang dokter residen di Rumah Sakit
Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat
aman bagi para pasien dan keluarganya malah menjadi tempat kejadian perkara,
hal ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis khususnya di rumah sakit tersebut. Langkah tegas telah diambil oleh Kementerian Kesehatan dengan
membekukan proses pendidikan pelaku dan mengajukan pencabutan Surat Tanda
Registrasi (STR) melalui Konsil Kesehatan Indonesia. Harapannya dan sudah
seharusnya juga kasus ini dapat di usut hingga tuntas agar tidak ada oknum
maupun korban-korban yang lain.
Selain
itu dalam ranah pendidikan juga tengah digemparkan dengan berita kasus
kekerasan seksual yang dilakukan oleh Prof. Edy Meiyanto seorang guru besar
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Beliau diduga
melakukan pelecehan terhadap sejumlah mahasiswi dari berbagai jenjang, mulai
dari S1 hingga S3. Modus yang
digunakan adalah memanfaatkan posisinya sebagai dosen pembimbing untuk
mendekati korban. Tindakan tersebut terjadi dalam
berbagai situasi, termasuk saat sesi bimbingan akademik yang seharusnya menjadi
momen pembelajaran yang aman dan kondusif bagi mahasiswa. Kasus ini menyoroti
pentingnya pengawasan dan penegakan kode etik di lingkungan akademik. Dosen, sebagai pendidik dan pembimbing, memegang peran penting
dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari intimidasi atau
pelecehan. Oleh karena itu, penting bagi institusi
pendidikan untuk memiliki mekanisme yang efektif dalam mencegah dan menangani
kasus kekerasan seksual, serta memberikan dukungan penuh kepada korban.
Dari kedua perkara tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian
pemerintah agra kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai upaya penegakan
hukum yang lebih tegas terhadap pelaku. Namun,
implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk budaya
victim-blaming dan kurangnya dukungan bagi korban. Banyak korban yang
mengelami kekerasan seksual yang tidak berani bercerita ataupun melapor, karena
takut tidak dipercaya oleh sekitar, takut apabila nanti ketika melapor
kasusunya hanya dianggap angin lalu dan tidak mendapat penyelesaian yang
seharusnya,juga takut ketika
malah mendapatkan judmen dari orang sekitar. Kita juga masih
kekurangan dalam penanganan bagi korban kekerasan seksual seperti, psikolog
trauma healing di puskesmas yang bisa dijangkau semua kalangan, shelter aman
yang layak, serta pendamping hukum yang berpihak pada korban. Bahkan masih
banyak aparat penegak hukum yang belum sensitif gender saat menangani
kasus-kasus seperti ini.
Dari kasus kasus yang terjadi juga sudah seharusnya kita
mulai terbuka dan melihat bahwa kasus kekerasan seksual ini adalah kasus
penting yang tidak
bisa diabaikan, baik kekerasan seksual pada anak, perempuan, maunpun
laki-laki. Para pelaku kekerasan seksual
dalam bentuk apapun itu sudah seharusnya ditindak tegas tanpa memandang bulu,
Para korban juga sudah seharusnya mendapat perhatian untuk pemulihan dengan
layak bukan hanya
dibiarkan saja.
Sumber:
https://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-dukung-penguatan-implementasi-uu-tpks
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240321155046-20-1082580
Editor: Difa Septiari Dinarsih
Komentar
Posting Komentar