[Ruang Karya] Cerpen

Previlisi Kota Tua

(cr: Pinterest)
Penulis: Ayatullah Maulidy (Psikologi)

 

Sebentar saja, duduk dulu yang santai dan temani aku. Mohon maaf, aku tidak bisa membuat kopi. Tangan-kaki ku sudah dimutilasi, walau aku bukan cacing planaria. Sebentar lagi kau akan mengetahui, mengapa peluru tombak ini nyangkut di kepalaku.

 

            Sebelumnya, manusia ini tidak mengenal “masa depan”.  Aku dapat berenang kehaluan, tak kenal mata-mata. Makin kesini, mata-mata kian semakin banyak. Tak dapat sedikitpun aku bermeditasi. Suatu masa, aku dipaksa bergerak, otakku perlahan-lahan di bawa hanyut dalam kedengkian, kemuraman, kemungkaran hingga ketakutan. Derup nadi terpacu untuk terus memberi suatu kebenaran bagi dunia ini yang telah longsor. Perbincangan masalah pohon-pohon yang menjadi sumber anti-longsor kini perlu diterbitkan ulang. Entah, mungkin karena lapisan ozon yang semakin tipis. Pohon itu pelan-pelan memakan sinar mentari secara berlebihan. Ulat-ulat yang memakan dedaunan harus meniup dulu, menunggu momentum yang tepat untuk menyantap dengan nikmat. Pun, meski ekornya kepanasan.

            Suasana di kota sangat kacau. Bahkan pohon-pohon pun enggan tumbuh disana. Aku mendapat informasi tempat buku dari buku. Tertulis kalimat indah, “Didalam kota itu terdapat sebuah buku. Tempat itu berada dibawah burung dara.”. Lalu, aku memikirkan dimana burung dara itu bertengger? Semuanya disini burung. Disini bebas, tidak seperti di negara pelosok. Di pelosok, ketika aku membuat surat undangan perkawinan anak pak lurah untuk diedarkan, kukayuh sepedaku berputar tuk menjelajahi pelosok, aku menjadi pusat perhatian. Tatapan para pelosok sangat sinis. Ingin sekali mereka mengambil sepedaku, tubuhku, dan bola mataku. Di pelosok aku melihat burung-burung diadu. Parahnya, mereka juga mencaci maki burung itu. Jikalau, paruhnya patah. Pun, ketika tidak patah. Sementara, paruhku berlebih-lebih dari burung itu, aku belum menemukan informasi yang berada dibuku itu.

            Bayangkan saja, burung itu menerima umpatan bahasa aneh. Ya jelas tak mengerti lah. Burung merasa kesakitan, tubuhnya dikoyak-koyak oleh negara ‘pelosok’. Aku benci ini, jelas-lah tidak sama dengan filosofi burung.

“Kenapa burung dianggap ‘kebebasan’?”

Langkahku seketika terhenti ketika aku menanyakan hal itu kepada perenunganku. Kukira sesuatu itu tidak penting. Tak sadar, di depan-ku ada orang bertopi, namun, matanya hilang satu. Aku mengajak dia bicara, namun dia tetap diam. Seketika itu, aku sadar bahwa dia adalah patung. Selama ini aku terlihat konyol dan idiot, burung dara yang tadi bersandar dibahuku kini turun ke jalan, seperti para demonstran menunggu makanan. Mereka berharap biji jagung turun kepadanya. Tak seperti di pelosok, aku tidak menemukan hal seperti ini. Kesana-kemari aku menyusuri jalan ini dan rasanya berbeda dengan di sawah. Ketakutan burung bermula ketika patung hidup kembali. Mereka sulit menemukan makanan ditengah ladang yang luas.

            Kubaca lagi buku itu, “Dimanakah informasi yang akurat itu?” Dan kau tahu? Aku lupa menggaris bawahi-nya. Aku mengumpat, melempar buku.

Ya, mungkin kau berpikir. “Mengapa aku tidak lupa akan halaman dari informasi itu? Ya, semua karena ‘tanda baca’. Aku membeli-nya di toko mainan pada sore hari. Tepat satu jam aku mendapatkan buku itu. Kau tidak perlu mengeluarkan kotoran yang berlebih untuk membeli tanda baca ini. Harganya memang relatif murah. Namun, isinya sangat mahal. Oleh karena itu, aku harap kau menyadari ini. Bukankah buku yang dicetak pada umumnya kelihatan lebih menawan ketimbang buku usang? Ya, karena ia tidak memiliki “Garis bawah dan Tanda baca”.

            Ya, ternyata informasi ini memberi penanda sekaligus petunjuk. Kalimatnya seperti ini, “.... jikalau kau sudah menemukan burung dara berkumpul, kau tinggal lurus saja. Namun, disinilah tantangan nya. Kau harus lebih serius dan percaya diri tentang tanaman-tanaman disampingmu. Tanaman terakhir berwarna putih memberi aroma mistis, lalu disanalah kau perlu membelokkan kakimu 90 derajat ke kanan. Untuk sampai ketujuan, tak lebih dari seratus langkah kaki, kau akan menemukan sebuah toko bernama ‘Poeing Ampas’. Disitu tercium aroma kopi yang khas. Toko itu berada di sudut kota, kau tinggal lurus sahaja. Kau akan menemui lampu merah, lalu belok kiri dan sedikit lagi kau akan sampai. Namun, alangkah lebih baiknya kau bertanya ke penjual toko mainan disana terpampang nama besar ‘Kantong Mainan’. Penjaga disana tahu dimana tempat itu berada.” Aku merenung lagi, dan merasa sedikit emosi. Aku mengumpat di antara kerumunan dara. Aku mengatakan “Bedebahh”.

Satu informasi yang menurutku tak berguna, seketika menjadi sangat berguna. Aku terlalu di mabuk ambisi untuk ke suatu tempat yang belum pernah ku datangi. Deru jalan kota memang tak seasyik di pelosok, disini terlalu banyak asap-asap yang mengepul.

Lalu Apakah kau tahu? Suara anak tertawa disini sangat jarang sekali terdengar. Terakhir aku melihatnya di toko Poeing Ampas. Tak sekali, aku juga mendengar sebuah suara kentut yang sangat nyaring. Kentut itu sama sekali tak menyakiti hidung. Namun, mendengarannya sangat menyakiti gendang telingaku. Sebelum didatangi para tentara padahal rasanya sudah hampir pecah, namun ternyata rasanya lebih sakit mendengar sebuah kentut itu.

Ya, ketimbang dimutilasi. Tak lama aku melihat baliho yang sangat gedhe. Dengan busana putih dan berekspresi seperti memohon untuk memilih dia sebagai wajah kota ini. Aku tak peduli dengan orangnya. Namun, aku ketawa tergelak-ngakak melihat kalimat seperti ini dalam baliho itu “Aku dipilih, maka aku akan membantu kalian”. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu, tapi, aku menyadari suatu hal. Kenapa dalam mengajak kita harus menggunakan kalimat yang sama? Tak bisa kah kita menggunakan “Para pencoblos saya, adalah yang berhak memerintah dan mengkritik saya. atau, Coblos saya, kota ini akan hidup”. Kalimat seperti itu kan lebih menarik dilihat dan menggema.

Aku kembali fokus ke jalan, perlu sedikit waktu lagi untuk aku sampai ke toko mainan itu. Sepanjang jalan yang kulihat hanya ada pohon kering, kedai yang tutup, tembok yang sudah ditulisi dan menarik untuk diabadikan, kucing yang sibuk menggaruk-garuk sampah, dan terakhir toko mainan itu.

Kubuka pintu itu, perlahan-lahan aku menikmati alunan langkahku. Menariknya toko itu ternyata bukan toko mainan. Melainkan, sebuah toko yang bersejarah. Banyak mobil-mobil kuno yang dipajang, senapan-senapan, seragam para penjajah juga pejuang, poster-poster, lukisan-lukisan, hingga cangkir dan sendok yang usianya lebih tua dari diriku. Seketika aku mabuk untuk kedua kalinya, toko itu begitu antik dan asyik untuk dikunjungi lebih dari 1 kali. Tempat ini, berada diantara himpitan dua toko besar yang sedang berebut untuk mendapatkan pelanggan. Berbeda dengan toko ini, kecil dan kusam dengan sebuah lumut yang hidup. Toko ini sepertinya tidak memiliki daya tarik untuk dimasuki pelanggan. Bahkan, aku sedikit menangis karena suasana toko ini. Barang antik disini berkilau semua, tak ada yang kusam dan berdebu. Tak lama, aku mendapati seorang perempuan. Aku pikir dialah yang bekerja disini.

Tak lama berselang aku bertanya, “Apakah kau tau mengenai tempat buku yang berada di buku ini?

Dia hanya menatapku dengan senyuman, seolah-olah dia mengetahui sesuatu. Lalu, perlahan-perlahan dia membuka mulutnya dan menggumam sendiri “Ah, bodoh, aku belum pernah menemukan buku ini lagi”

Aku bingung, dan berpikir mungkin ini tempat yang salah. Tak lama, aku mendengar sebuah kentut yang begitu nyaring lagi, bersamaan dengan suara pintu yang terbuka dari dalam toko itu.

Masuklah seorang paruh baya, dia berucap begini “Mengapa kau mau masuk toko ini? Padahal disini tiada eskalator atau pengawal yang bisa membantumu.”

Aku merenung lagi, dan lagi. Hingga seorang paruh baya itu menanyakan kepada perempuan itu. Aku sendiri tak terlalu mendengarkan bisikan mereka. Aku terkaget, sebuah tepukan yang tepat di bahu ku membuatku tersadar.

Paruh baya itu berkata lagi “Mengapa kau merenung anak muda? Padahal aku bertanya untuk memastikan kau bukan dari kalangan para tentara”

Aku terpaku, pasalnya aku pernah melihat keburukan para tentara itu. aku mengucapkan dengan sedikit rasa gugup “Maaf mbah, saya dari kalangan anak remaja. Bukan dari orang dewasa, apalagi para tentara.”

Seorang paruh baya itu tertawa lalu mengatakan “Hahaha, kau mempunyai trauma terhadap para tentara kan?”

Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah dia dukun? Atau informasi buku ini salah? Paruh baya itu mengatakan begini “Kalau kau malu untuk mengatakan tujuanmu sebaiknya tidak usah kesini nak. Ini toko sudah tidak memiliki nilai berharga lagi. Oh iya, aku tau buku yang kau pegang itu. Pengarangnya adalah anakku, dan dia telah disembunyikan oleh para tentara. Jangan kau bertanya apakah aku sedih atau tidak? Tentu, aku akan menjawab tidak. Karena aku adalah tentara juga. Aku sudah diberhentikan secara tidak layak. Sebenarnya buku itu adalah alasan mengapa aku berhenti nak. Kalau kau tau, buku itu secara tidak langsung mengungkapkan perilaku busuk para tentara. Tentunya acuannya adalah diriku sendiri, nak. Aku memberi dongeng-dongeng terhadap anakku.”.  Nadiku terkejut ketika mendengar kabar ini.

Paruh baya kemudian bercerita lagi, Mengapa dalam buku itu penerbitnya sangat tidak terkenal atau bahkan tidak ada orang yang mengetahuinya. Bahkan pengarang buku itu tidak ada yang mengenal dirinya. Tak ada yang berani menerbitkan buku ini kecuali perempuan yang menjaga toko tadi. Dia belajar mesin ketik dari ketidak-tahuan. Dia bekerja sangat keras agar buku ini terbit. Tepat setelah buku ini dijual kepada para penjual buku yang lapaknya mendapati banyak pelanggan. Buku ini, laris manis. Namun, sang pengarang mendapati kesalahan, ketika dia mengakui bahwa dialah yang menulis buku itu saat aku berkumpul dengan para tentara. Muka para tentara seketika sinis terhadap anakku. Ketika aku berpatroli di daerah taman burung dara itu, aku telah mendapati anakku dimutilasi, nak. Tubuhnya berlumuran darah dan tubuhnya terpisah dengan tulang belulang nya. Aku sangat mengingat hal ini, para tentara biadab itu menulis dengan tubuh dan tulang belulang anak saya. Kalimatnya seperti ini, nak “Kau Salah” susunan itu sangat rapi. Menurutku tidak, nak. Seharusnya kalimat itu begini “Aku Benar”. Aku mengangkat anggota tubuh anakku. Saat itu Aku tak kuat nak, urat-otot ku lemas. Ya, begitulah nak. Kau harus hati-hati terhadap negeri ini, nak. Kalau tak ingin seperti anak saya.

Diakhir kalimat dia berucap seperti ini Kau masuklah kebelakang, keluarlah dari jendela. Kau harus ke tempat Poeing Ampas, nak. Lalu mengabari bahwasanya aku telah bernasib seperti anakku.

Aku menaiki jendela, menutup lalu pergi. Terdengar oleh kuping kananku suara revolver yang sangat nyaring. Kau tahu nadanya seperti apa? Tembakan pertama bernada “dar”, kedua “der”, ketiga dentuman bom dengan bunyi “Mampus kau biadab”. Hal itu, lebih membuatku kaget ketimbang suara kentut yang berseliwingan. Ternyata aku telah dibuat mabuk untuk ketiga kalinya.

Aku baru menyadari sesuatu dalam buku itu. Terdapat pada prolog, “Kau akan mendengar suara dentuman keras, saat itu larilah atau kau akan dicurigai”. Berlari sekuat tenaga adalah alasanku untuk terus hidup. Nahasnya, toko selanjutnya yang aku ingin datangi telah diamankan oleh para tentara. Sedikit tenaga, meski terengah-engah aku tetap menenangkan diri. Namun, sialnya, mata-mata telah menghantui gerak-gerikku sejak berada di taman. Aku telah ketahuan, dengan cepat aku menaiki angkutan umum untuk kembali ke pelosok. Sebelum terlambat.

            Aku berpikir bahwa seorang mata-mata akan menemukan identitas saya dengan cepat. Aku tak mau kalah licik dengan mata-mata itu. Lari merupakan solusi yang paling menjawab waktu itu. Aku tak bisa lagi meditasi diruangan ini. Ruangan ku terlalu jauh untuk ke kota.

Tak terjawab aku akan bermeditasi dimana, akankah gunung? Atau menumbuhkan sayap sama seperti burung? Ah, entahlah. Selama menaiki angkutan umum aku mencari tempat persinggahan. Diantara mereka tidak ada satupun yang mau menerimaku untuk disinggahi tempatnya. Aku membaca koran seraya menunggu angkutan umum lain tiba.

Sebuah kalimat dengan bunyi “Hutan adalah kehidupan manusia” membuatku memantapkan pilihan. Seketika itu juga aku berpikir untuk bersinggah diri di hutan. Tentunya, yang tidak terikat dengan vegetasi manusia. Aku mencari hutan belantara yang memiliki suatu tebing yang pas untuk ditinggali. Di malam hari, aku bersandar pada lentera yang kubeli kemarin sore untuk meneruskan aktivitas menjelajah ini. Aku tak takut sedikitpun, pada hantu-hantu hutan. Aku lebih takut terhadap nafas ku yang berhenti akibat para tentara membunuhku. Terheran-heran aku tak memiliki satupun rasa payah dalam benak pikiranku. Perjalananku memang sedikit tersungkur kantuk yang tak mungkin usai. Namun, aku tak memikirkan kantuk ku yang berlebih ini. Selama perjalanan aku menyusuri hutan-hutan belantara ini, tak jarang aku mendapati rantai makanan yang telah digambarkan dalam pelajaran anak-anak kecil.

            Udara hutan lebih segar dan menyegarkan pada mata ini. Jikalau, aku mengembara di kota mungkin aku sudah mati. Disuguhkan dengan aroma makanan kelas atas, kopi, dan hidangan kaum menengah bawah karena melihat tubuhku seperti orang hampir bermain dadu dengan maut. Tentunya bukan dengan para tentara. Berhari-hari aku mencari tempat yang sesuai dengan keinganku. Ya! Hutan yang memiliki suatu tebing. Tak pernah kutemui tempat itu.

Ini menjadi titik menjelajahi hutan untuk beristirahat, dipinggiran danau yang dikelilingi tembok-tembok bebatuan. Hanya membutuhkan satu cara, untuk mendapati tempat ini dengan menggunakan otot-otot kaki. Ditempat ini aku merasakan suatu tempat yang sangat nikmat. Aku mematahkan keidealanku, tempat yang pas tak menjadi jawaban bahwa kau akan mendapatinya. Hidupku sangat bahagia disini, kicauan burung-burung terdengar tegas dan keras, sapi-sapi disini merasakan kenikmatan rumput yang segar. Pun, ikan-ikan nya menjadi ciri khas untuk hiasan danau ini. Tempat ini merupakan titik kumpul mata air yang nantinya bergilir ke sungai-sungai dibawahnya.

            Jangan kau bertanya bagaimana aku hidup di tempat ini. Tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh disini lebih bermakna hidupnya. Dia liar, bergoyang, dan tentunya alam sangat menyukai hal itu. Kuhitung untuk ketempat ini membutuhkan sekitar satu pekan lebih. Disini tak ada para tentara. Pun, hutan tidak dimiliki oleh siapapun, aku menyukainya seperti puisi. Ah, berbicara tentang puisi. Aku sudah lama tak membuatnya. Kucoba menulis perlahan-lahan pada tanah yang direstui oleh alam.

Tengah hutan tanpa nyamuk, lalat, dan semut

            Tanpa jejak digital, hidupku,

            Tidurku, semakin

            Sehat


            Euforia!

            Hidup tanpa suara kentut

            Adalah kebebasan

 

            Baliho, bambu runcing, juga

            Suara

 

            Hutan tidak mengenal setan

            Hutan tidak mengenal tentara

            Hutan tidak mengenal mitos

 

            Hutan mengenal alam

            Alam mengenal hutan

 

            Mitos adalah hantu, pun

            Garuda.          

            Tiga puluh tujuh hari aku hidup disini. Pun, umurku. Siang menjelang sore ketakutanku muncul. Meditasiku telah diketahui oleh para tentara, mereka berjumlah 34 orang. Para tentara itu tidak terlatih. Ternyata! Mereka membutuhkan mesin-mesin untuk mencari diriku. Entah apa yang dicari dalam diriku. Aku masih bertanya-tanya, aku tidak memiliki uang sepeser pun. Aku hanya punya alam, aku hanya punya kesadaran, dan aku hanya punya ketakutan. Tak lebih dari itu, tapi para tentara biadab itu menganggap aku memiliki segalanya. Mereka rela menganggap aku tuhan. Mereka tak rela terhadap istri, anak dan negara. Aku tak memiliki siapapun. Aku hanya punya alam. Para tentara itu mengepung, muka mereka seperti babi-babi pemakan kotoran. Aku yakin, mereka tak mempunyai tanda baca. Otak mereka kosong, hati para tentara itu telah ditelanjangi. Kaki mereka telah diikat.

Aku, mencomot sebuah buku. Alamatnya berada diluar garis katulistiwa, dengan deru kencang aku berlari, tersandung demi sebuah buku. Perlahan-lahan, kubawa buku itu dengan setaat mungkin. Namun, saat para tentara datang untuk merampas, memaksa, lalu meninju, menendang, dan berakhir menempatkan tendangan gacor ke mukaku. Sontak mataku terkena pucuk ranting, perlahan-lahan mereka membuka lemari sejarahku. Mereka mengambil sumbangsih-sumbangsih beberapa naskah di lemari panjang berbentuk segitiga dengan kayu sedikit lusuh. Diambil, dirampas, dan dibakar.

Dimana aku mendapatkan sebuah kenikmatan, jikalau tidak di alam? Aku dan alam adalah satu keluarga. Aku merusak, alam juga merusak. Aku menjaga, alam juga menjaga. Tapi, dalam sebuah hutan ini hanya satu pohon yang tidak pernah aku urusi. Mengapa ya? Mungkin karena itulah alasan para tentara datang ke hutan itu. Padahal, hutan itu tidak memiliki nilai eksotis sedikitpun, tapi sayangnya sampah dibakar dipohon itu. Kau tahu, di pojok hutan itu ada pohon dengan bentuk perut kita, bolong tengah. Disanalah, para tentara membakar sisa-sisa meditasiku, selama tiga puluh tujuh hari. Anehnya, pohon itu tak terbakar, Ia memiliki sebuah volume angin yang pas untuk melaksanakan proses pembakaran. Buku-buku pun dibuang disana. Aku merasa kasihan terhadap buku saja, kalau yang lain, sudah bakar saja.

Mataku sayu diterjang peluru tombak. Otak kiri-belakangku rusak. Bak DVD bunyinya agak konslet, namun tak pernah jatuh ke toilet. Selintas cahaya jatuh menerangi lampu rumah. Disana terdapat keaneahan-keanehan. Muka-muka bapak menakutkan, kakak telah menjadi sapi seutuhnya untuk disembelih. Dan, aku. Tidak mempunyai apa-apa kecuali satu mata kiri yang terkena peluru tombak ini. Kuping? Aman, sehat wal afiat. Mulut? Wah, kurang sehat, soalnya nyerocos melulu!. Nahasnya, kaki dan tangan telah dimutilasi, menjadi objek uji coba. Kalau tidak salah aku mendengar umpatan-umpatan para tentara kalimatnya begini “Demi penebusan tiga juta”. Kalau tidak salah disana juga terdapat keringat bau-bau kotoran yang menyengat. Seperti, kalau dipikir, nah sepertinya aku adalah debtcollector. Oh, bukan ya. Ya, aku ingat, seperti emm. Hei, sebentar, ada sinar mentari di kanan kupingmu. Boleh ya aku ambil sebentar untuk menapaki keindahan bola mata ku ini ucap para tentara.

Pada saat itulah, aku mencomot buku itu kembali. Aku katakan pada tentara itu “Aku tidak mencomot, aku ingin mengoleksi saja. Mengapa aku tidak boleh mengoleksi suatu buku?

Peluru tombak menyeringai membuat gambar senyuman di mata kiriku, crot bunyinya. Aku tidak diam, aku berlari mengejar buku itu hampir sahaja terkena bara api. Namun, kedua kaki ku jatuh dicium batu, dan tanganku menjadi sapu lantai pembersih para tentara. Lalu, aku diseret dan dicekokin peluru tombak, dari mata hingga otak kiri. Sampai, aku tidak diamankan. Aku menerima pukulan yang memukau. Silau seperti berada di sirkus komedi.

Tendangan yang sangat semangat, menghangat, merapat dalam tembok batu, dan berakhir mutilasi. Jangan kau bertanya tentang perenunganku. Aku merenungkan bagaimana tubuhku beregenerasi lagi. Aku merindukan apabila otak, kuping kanan, mata kiri, kaki, tangan, jantung, paru-paru, nadi tidak sejalan. “Aku sedang berada diluar ambang kesadaran”.

Sekali lagi aku mengucapkan “Aku tidak mencomot buku, aku hanya mengoleksi saja”. Kemudian, peluru tombak itu menancap dengan indahnya. Mengukir tubuhku. Para tentara itu hanya tau merusak mata, kuping, hidung, mulut, kaki, dan tangan saja. Mereka tidak mengetahui cara merusak pikiran dan hati.

Sebelum kuping saya menjadi datar aku mendengar kali terakhirnya “Penebusan tiga juta” Tepat! Itu adalah harga dari meditasiku ditengah hutan ini. Karena senyumanku, mereka ketakutan dan membuang ku ke danau itu. Aku takjub, ikan-ikan tak memakan bangkai diriku dan sapi-sapi sudah tidak ingin makan rumput lagi. Burung sudah muak berada ditempat seperti ini. Semua karena tindakan para tentara bermesin itu. Sudah, semuanya hangus dibakar. 



Editor: Lulus Anggun dan

Yohanna Gabriella

Komentar

Popular Posts