[Resensi Buku] Si Anak Pemberani

Weekly Post
(cr: Google) 
Penulis Resensi: Aqim Laila

Judul : Si Anak Pemberani
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun Terbit            : 2018
Jumlah Halaman     : 424 hlm
ISBN : 978-602-573-452-6
Genre : Fiksi
Sinopsis                     :

Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian (halaman 305).

Begitu kata Wak Yati—kakak Bapaknya, ketika menasehati Eli yang kabur dari rumah. Alasannya karena Eli yang merupakan anak sulung itu merasa dirinya dibedakan kasih sayangnya dari ketiga adiknya. Eliana atau yang kerap dipanggil Eli, tokoh utama dalam novel ini, merupakan seorang gadis berumur 12 tahun dengan didikan Bapak yang bijaksana dan Mamak yang tegas serta penuh kasih sayang meskipun digambarkan sebagai sosok ibu yang galak. Model didikan orang tua Eli tersebut menumbuhkan karakter Eli yang kuat, pemberani, pantang menyerah, dan religius. Hal ini memberi pelajaran kepada saya betapa pentingnya pendidikan karakter pada anak-anak ditanamkan dalam pola pengasuhan orang tua. 

Eli tumbuh di sebuah kampung di Bukit Barisan pulau Sumatera yang dianugrahi dengan sumber daya alam yang kaya. Tere Liye mengajak pembaca kembali ke era tahun 1970 sampai dengan 1980, ketika listrik belum ada dan hanya ada lampu canting sebagai penerang di malam hari. 
Eli terlahir sebagai anak sulung yang menjadikan dia tak lepas dengan kodratnya yang harus mampu menjadi anak yang kuat, yang mampu melindungi dan menjadi contoh bagi ketiga adiknya. Kalau ada hal yang tak diinginkan terjadi sedikitpun pada adik-adiknya maka Eli langsung diomeli Mamak. Saya sebagai anak pertama sangat termotivasi dengan kegigihan Eli yang digambarkan dalam novel ini.

Eli menikmati kehidupannya yang sederhana itu di kampung tercintanya yang damai nan makmur sampai suatu ketika datang truk pembawa pasir datang mengeruk pasir di kampung mereka tanpa mempedulikan keseimbangan alam yang telah ada. 

Beberapa tokoh kampung telah melakukan negoisasi dengan pihak terkait untuk membahas masalah penggalian pasir yang dilakukan di kampungnya. Eli yang menemani Bapak pada pertemuan itu tak sengaja mendengar Pak Johan, atasan penambang pasir, menghina Bapaknya saat melakukan negoisasi itu. Tak terima mendengarnya, kalimat penuh gentar sontak diteriakkan oleh Eli hingga membuat seisi ruangan terdiam dan mengakhiri rapat yang belum juga menemukan kesepakatan. Penambang pasir tetap bersikeras melakukan penambangan karena merasa sudah mengantongi izin.  Sementara masyarakat yang diwakili Bapak, kepala kampung, dll, tetap menolak kegiatan tersebut yang dinilai merusak alam dan menguntungkan pengusaha saja.
  
Perlawanan Eli Ketika negoisasi itu kemudian menginspirasi dia dan 3 temannya membentuk geng bernama Empat Buntal yang bertujuan untuk menyusun strategi pengusiran oknum tak bertanggung jawab itu. Sampai sini saya sangat melihat keberanian dan keteguhan hati yang luar biasa tergambar dari diri mereka yang masih kanak-kanak. Berbagai strategi mereka lakukan mulai dari pengintaian ke tambang pasir, penyerangan untuk mengempesi ban truk, hingga melemparkan kantong balon yang berisi bensin ke truk pengeruk pasir hingga beberapa truk meledak. Namun, salah satu dari mereka gagal menyelamatkan diri, lalu ditembak dan jasadnya disembunyikan agar pembunuhan tersebut tidak diketahui warga kampung. Melihat hal itu, Eli dan gengnya yang tersisa berusaha mencari barang bukti pembunuhan namun takdir berkata lain. 

Malam hari, mereka masuk perangkap Pak Johan. Mereka disekap dalam sebuah truk kontainer yang gelap dalam keadaan mulut tertutup. Berbagai usaha Eli dan gengnya dilakukan untuk melepaskan diri gagal. Kepasrahan akhirnya yang bisa dilakukan, hingga terdengar suara gemuruh. Ternyata hujan turun lebat yang menyebabkan banjir bandang dan meratakan pos penambangan pasir. Semua truk terbawa arus, termasuk kontainer tempat menyekap mereka. Disini Tere Liye seakan menciptakan suasana yang dapat menjadikan pembaca seolah merasakan langsung situasi genting di dalam kontainer tersebut. Eli dan gengnya berusaha untuk survive dengan keadaan diluar kontainer yang tak terbayangkan debit airnya. 

Kelebihan :
Novel ini mengajak pembaca untuk merasakan suasana kampung di Bukit yang masih asri dan tradisional pada tahun 70-an. Penggambaran karakter Eli si sulung anak Bapak Mamak yang pemberani tersampaikan dengan baik diawali dari tanggung jawab yang diemban Eli sebagai anak pertama. Mengangkat kisah tentang isu lingkungan dalam kehidupan sehari-hari namun dikemas dengan sangat cantik membuat ceritanya terasa menyenangkan dan tidak membosankan.

Kekurangan :
Dalam novel ini ada beberapa kosa kata dari bahasa Belanda yang tidak ada keterangannya. Terlepas dari itu, kalimatnya tetap bisa dipahami setelah membaca kalimat selanjutnya.

Editor: Lulus Anggun

Komentar

Popular Posts