Psikologi Sufistik Imam Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M) atau yang dikenal al-Ghazali berasal dari daerah Thus, nama kota di Kharasan. Nilai-nilai sufistik sudah terbentuk dari ayahnya sendiri yang menjadi pengikut setia tradisi kesufian sebelumnya. Dasar keilmuan Al-Ghazali didasarkan pada potensi: ruh, jasad, qalb, ‘aql, dan nafsu. Paradigma keilmuan Al-Ghazali ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kajian psikis keberagamaan manusia relasinya dengan interaksi internal diri sendiri maupun interaksi eksternal pihak yang lain, dan bagaimana proses interaksi ini dapat dipertanggungjawabkan secara baik di hadapan Allah swt. Paradigma keilmuan Al-Ghazali ini telah menjadi rujukan penting bidang psikologi sufistik. Meskipun demikian, sampai sekarang tidak banyak yang memikirkan karya sufistik Al-Ghazali relevansinya dengan kesanggupan aplikatif psikologi sufistik dalam konteks penyembuhan pasien di tengah perkembangan psikologi modern. Sebenarnya, Al-Ghazali memiliki karya-karya monumental yang tidak hanya membahas bidang ilmu tasawuf, tetapi juga memiliki karya-karya dalam bidang ilmu kalam dan ilmu fikih. Dari keseluruhan karya sufistik al-Ghazali ini lebih menekankan pada pengembangan potensi kepribadian individu, baik yang terkait dengan diri sendiri, diri yang lain, mereka yang memiliki nurunnubuwah(para rasul dan nabi) maupun terkait secara langsung dengan Allah swt.
Pengembangan kepribadian dalam perspektif sufistik al-Ghazali didasarkan pada sumber potensi manusia: ruh (‘alam al amr), jasad(tempat potensi manusia), qalb (tempat ma’rifah), ‘a q l (sumber ukuran standar kebenaran), nafsu (wadah dari syahwat dan gadab). Potensi yang menjadi sumber kepribadian manusia ini secara sistemik dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian: materi (Al-Nafs al-Nabatiyah), immateri (Al-Nafs al-Natiqah), dan substansi pengantara (Al-Nafs al-Hayawaniyah). Proses kerja dari ketiga bagian ini yang pertama, dapat dipahami dari pertumbuhan fisiologis yang ditentukan oleh unsur materi. Kedua, perkembangan psikologis nilai-nilai keutamaan dan kebaikan sangat ditentukan oleh kesucian dan ketajaman immateri. Ketiga, kualitas keseimbangan antara pertumbuhan fisiologis dan keseimbangan psikologis manusia sangat terkait dengan peran nafsu, baik syahwat maupun gadab (Al-Nafs al-Hayawaniyah). Karenanya, jika keberadaan nafsu dapat dikendalikan dengan baik, maka kesadaran psikis manusia akan terekspresikan dalam sikap jasmani secara positif. Namun sebaliknya, jika keberadaan nafsu tidak dapat dikendalikan dengan baik, maka kesadaran psikis manusia akan terekspresikan dalam sikap jasmani secara negatif. Kelima potensi manusia yang menjadi sumber perkembangan kepribadian manusia ini telah digambarkan al-Ghazali secara metaforis dalam karyanya Kimiya al-Sa‘adah.
Kelima potensi ini dapat dikatagorikan
sebagai unsur-unsur psikis manusia. Dalam psikologi Barat, jasad (body) dan
rasio (reason) telah dikategorikan sebagai unsur psikis manusia yang berkembang
dalam aliran psikologi Kognitif, Behavioristik, Psikoanalisis, dan Humanistik.
Dalam konteks pembicaraan psikologi sufistik, sangat tepat jika menempatkan
lima potensi (rūh, jasad, qalb, ‘aql, dan nafsu) sebagai perspektif sumber
psikis manusia yang dapat dikembangkan dalam kajian psikologi sufistik. Dalam
perspektif metaforis al-Ghazali, integrasi lima potensi ini merupakan bangunan
dasar psikis manusia yang memiliki peran yang berbeda. Jasad merupakan bentuk
ladang yang terdiri dari dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh. Nafsu
seksual (syahwat) memiliki peran sebagai penggerak ladang, sedangkan nafsu
agresi (gadab) memiliki peran sebagai penjaga ladang. Qalb berperan sebagai
raja psikis manusia. ‘Aql berperan sebagai perdana menteri psikis manusia.
Dalam konteks sebagai raja, qalbyang dikatagorikan sebagai ‘Alam al-Amr
yangdituntut untuk selalu bermusyawarah dengan perdana menteri, sehingga nafsu
seksual dan nafsu agresi benar-benar dalam kendali perintah perdana menteri.
Membahas tema
yang didasarkan pada
tujuan dalam upaya membuat psikologi
sufi sebagai bangunan
integralistic (ruh/roh, qalb/hati,
aql/alasan, dan nafs/keinginan) dalam
kegiatan bimbingan dan konseling.
Oleh itu, tema
yang dapat digunakan untuk membuat
menyeimbangkan dari kepribadian
seseorang dalam perspektif spiritual,
intelektual, emosional, dan
sikap. Selain itu, tema
ini dapat diidentifikasi pengembangan arus utama
psikologi (aspek kognitif,
Behavioristic, Psychoanalysis,
Humanistik), dan hubungan dengan bimbingan dan konseling.
Terjadinya proses keseimbangan
pertumbuhan fisik dan keseimbangan perkembangan psikis manusia inilah yang akan
menentukan perolehan keutamaan dan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia dan
akhirat. Jadi, proses terjadinya keseimbangan pertumbuhan fisik dan
perkembangan psikis manusia akan memudahkan upaya pencapaiannya menuju
kebahagiaan dan kema’rifatan atas realitas transendental (Al-Hadrah
al-Ilahiyah). Sebaliknya, tidak adanya keseimbangan fisik dan keseimbangan
psikis manusia yang disebabkan kemenangan atas kesewenangan potensi nafsu
(syahwat dan gad}ab) akan menghancurkan keberadaan bangunan fisik dan
keseimbangan psikis manusia.
Tidak adanya pengendalian terhadap
keberadaan nafsu inilah yang sebenarnya mengkhawatirkan keberadaan potensi ruh,
jasad, qalb dan ‘a q l. Sebagaimana dijelaskan dalam Kimiya al-Sa‘adah, bahwa
potensi qalb itudapat mengetahui Allah swt. (ma‘rifat) dan menyaksikan
(musyahadah) keindahan wajah-Nya, namun karena kuatnya dominasi nafs syahwat
dan gadab, maka kema’rifatan dan kemusyahadahan manusia menjadi terhalang
rapat. Jika kecenderungan syahwat (lapar, dahaga, keinginan seksual) dan gadab
(kemarahan, kedongkolan, dan dendam) tidak didasarkan pada efektifitas dan
ketepatan penggunaan emosi (kecerdasan emosional), maka secara otomatis akan
merusak jaringan keseimbangan antara seluruh potensi manusia. Selain nafsu,
yang juga akan membahayakan manusia adalah kemampuan rasio. Rasio berfungsi
untuk memahami dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya sendiri dan bagi
sesama manusia. Meskipun demikian, adanya efektifitas dan ketepatan penggunaan
rasio (kecerdasan intelektual) tidak dapat berfungsi secara bebas menentukan
sendiri sebuah sikap dan tindakan manusia.
Manusia meskipun memiliki kecerdasan
intelektual yang bagus harus tetap terus berusaha untuk dapat melampaui derajat
keilmuan yang diperoleh melalui rasio. Misalnya, berusaha untuk sampai pada
puncak kemampuan keilmuan yang secara langsung bersumber dari qalb hingga menjadi
bangunan kesadaran ilahiyah (wusul) ketika dihadapkan pada setiap problem
kehidupan. Jadi, proses berlangsungnya kerja rasio manusia tidak dapat
dijadikan sebagai pemain tunggal dalam menentukan karakteristik kepribadian
manusia. Jadi, seluruh potensi manusia harus bekerja secara seimbang dalam
kepribadian manusia. Karenanya, meskipun seseorang sudah sampai pada puncak
kesadaran diri yang berintegrasi dengan kehendak ilahiyah (wusul), tetap
dituntut untuk menyisihkan The idea constitutive use of mind yang sangat
terkait dengan kecerdasan intelektual. Dengan demikian, keberadaan kecerdasan
intelektual benar-benar dapat mendukung pencapaian kesadaran dan ketajaman
kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual akan memahami secara jernih
bagaimana sebuah proses pencapaian kebenaran tertinggi yang disebut keutamaan
(virtue) dan kebahagiaan tidak terdistorsi oleh kekuasaan nafsu dan bisikan
penggoda dari luar (Iblis).
Dalam pandangan al-Ghazali, gerak
pemikiran atau intelektual menuju kehendak (iradah) merupakan unsur penting
dalam memperoleh ma’rifah. Dengan kehendak (iradah) ini akan tersingkap hakikat
segala wujud dan rahasia ketuhanan (al-Uluhiyah wa al- rububiyah). Selain
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, juga memiliki peran yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Kecerdasan emosional ini sangat terkait dengan
efektifitas dan ketepatan penggunaan nafsu. Kecerdasan emosional ini sangat
terkait dengan peran nafsu yang sudah sampai pada ketenangan (mutmainnah),
ketulusan atas seluruh keputusan-Nya (radiyah), mendapatkan rida-Nya
(mardiyah), sebagai potensi yang bersih, putih, jernih, bebas dari kotoran dan
memiliki keterbukaan hati (safiyah), kehendaknya sudah menjadi kehendak yang
menjadi hakikat kebenaran dan berintegrasi dengan kehendak-Nya (bāqiyah).
Kecerdasan emosional ini berfungsi menggerakkan (muharrikah) fisik
ataupancaindra (mudrikah). Kekuatan penggerak terdiri dari
kecenderungan-kecenderungan (ba‘isah li al-harakah) dan dorongan-dorongan
(mubasyirah li al-harakah atau qudrah). Kecerdasan emosional memiliki relasi
dengan kecerdasan sikap kepribadian. Proses terjadinya gerak fisik dan
kecenderungan pilihan yang membentuk dalam sikap dan perilaku reflektif manusia
ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk efektifitas dan ketepatan penggunaan
sikap dan tingkah laku fisik (kecerdasan sikapattitude).
Dari karya al-Ghazali ini telah muncul perkembangan pemikiran yang mengkaji pemikirannya, namun semuanya tidak jauh dari pembacaan kembali pemikiran al-Ghazali relevansinya dengan kesadaran keberagamaan yang dibangun dalam karya-karya besar al-Ghazali. Artinya, masih sulit ditemukan perbandingan pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran-pemikiran modern di Barat. Sama sulitnya menemukan karya baru yang mencoba mengembangkan pemikiran al-Ghazali dalam konteks psikologi sufistik dan bagaimana relevansinya dengan psikologi Barat. Dengan kata lain, sudah banyak karya yang mengkaji tentang pemikiran al-Ghazali, tetapi belum secara spesifik membicarakan implikasinya dalam pembentukan kepribadian individu di tengah arus utma psikologi modern.
Oleh: Muhammad Rizal Ghibran (Mahasiswa Psikologi angkatan 2020, Fakultas Psikologi dan Kesehatan, UIN Walisongo Semarang)
Komentar
Posting Komentar