PENGARUH NEGATIF PERCEPATAN TRANSFORMASI DIGITAL TERHADAP REMAJA
Dunia terus berkembang dan berinovasi sepanjang waktu. Tak dapat dipungkiri di zaman sekarang telah banyak muncul pembuktian inovasi-inovasi terbarukan yang bersumber dari ide dan pemikiran dahsyat manusia. Salah satu contoh perkembangan ini dapat terlihat dalam bidang media komunikasi. Di zaman peradaban nenek moyang, media komunikasi masih menggunakan daun lontar ataupun surat melalui burung merpati. Akan tetapi di era sekarang, teknologi internet telah berkembang pesat hingga menimbulkan dampak positif bagi berkembangnya teknologi digital. Apabila dibandingkan dengan media komunikasi era sebelumnya, penemuan teknologi internet ini jauh lebih canggih dan luar biasa. Efisien, praktis, dilengkapi dengan fitur yang mampu memfasilitasi penggunanya.
Berbicara mengenai teknologi digital di Indonesia, menurut riset yang ada, semenjak pandemi Covid-19 mulai melanda, peran teknologi digital menjadi salah satu komponen penting penunjang keseharian. Segala sesuatu yang awalnya dilakukan secara langsung kini beralih daring dengan menggunakan teknologi digital, akibat diturunkannya peraturan social distancing. Kegentingan situasi serta ditengah tekanan membuat masyarakat Indonesia siap tidak siap harus bersahabat dengan kecanggihan teknologi yang ada, menjadikan kecepatan transformasi digital jauh melebihi perkiraan yang telah ditentukan. Tentunya hal ini mengakibatkan kurangnya kesiapan yang matang bagi pengguna, sehingga masyarakat sendiri pun belum mampu mengeksplore penggunaan teknologi dengan semaksimal mungkin. Pengguna aktif media digital juga dinilai kurang memahami etika dasar saat berseluncur di dalamnya hingga berimbas terpapar hal-hal negatif. Penipuan, pornografi, terpapar konten pemecah persatuan, rasisme, hoaks, masalah privasi pengguna, kecanduan, hingga resiko terjadinya cyberbullying.
Orang dewasa yang juga berperan sebagai orang tua kerap kali melupakan banyaknya resiko negatif yang menanti melalui platform digital ini, sehingga seringkali dengan mudahnya memberikan gadget kepada sang anak tanpa pengawasan serius. Padahal apabila ditelisik lebih detail, setiap komponen teknologi digital memiliki efek samping negatif bagi anak. Salah satunya adalah media sosial. Melalui media sosial, pengguna mampu bersosialisasi dengan orang lain bukan hanya dengan orang dalam cakupan internal, namun juga yang berasal dari luar domisili bahkan berasal dari mancanegara. Melihat melalui sisi inovasi, fitur, kreasi, serta tingkat efisiensi yang ada, penemuan ini tentu dengan cepat menjamur hingga penggunaannya terus meningkat sepanjang tahun. Merujuk pada laporan We Are Social, pengguna media sosial telah meningkat 12,35% atau setara 191 juta orang pada Januari 2022. Laporan ini hanya menyajikan data Negara Indonesia saja, tak terbayangkan berapa persen peningkatan pengguna aktif media sosial di seluruh dunia dari tahun ke tahun.
Dengan demikian bercampurlah seluruh lapisan masyarakat, mulai dari usia remaja, dewasa, maupun lanjut usia. Lapisan usia yang paling rentan terpapar konsumsi negatif adalah usia remaja. Menurut psikologi, rentang usia remaja masih sangat memerlukan pendampingan orang tua dalam penggunaan media sosial. Karena remaja masih tergolong labil. Belum dapat memilah dan memilih mana tayangan positif dan mana tayangan negatif, sehingga kesemuanya dikonsumsi tanpa memikirkan efek jangka panjang yang akan terjadi di kemudian hari. Remaja cenderung mengandalkan rasa ingin tahu untuk mengakses lebih dalam terkait sosial media. Hal ini juga disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi menuju dewasa sehingga mereka berjuang untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Rasa ingin tahu yang besar didukung dengan rasa emosional yang tidak stabil, dan mudah sekali dipengaruhi dapat dengan mudah mengundang konten-konten negatif untuk muncul dan memengaruhi mereka, mulai dari segi pemikiran, perkataan, maupun tingkah laku. Salah satu dampak yang paling dikhawatirkan ialah terjadinya cyberbullying.
Cyberbullying merupakan tindakan penyalahgunaan teknologi dimana bertujuan untuk mengejek, mengolok-olok, merundung, serta merendahkan orang lain dengan gambar atau video melalui platform media sosial. Remaja berpotensi besar menjadi pelaku maupun korban itu sendiri. Cyberbullying seirig berkembangnya teknologi tidak dapat dipandang sebelah mata lagi. Dampak cyberbullying bagi pelaku dan korban sama merugikannya. Bagi pelaku, dia akan merasakan kepuasan tersendiri hingga timbul keinginan untuk mengulangi perbuatannya yang tentu hanya akan berputar menjadi siklus negatif, menjadi mudah tersinggung, depresi, perilaku menjadi buruk, merasa paling superior, serta emosinya menjadi tidak terkendali. Sementara pada korban akan merasakan kesedihan yang luar biasa, perasaan tidak diterima, diasingkan, melabeli rendah terhadap diri sendiri, hingga merasa tidak berharga. Korban yang tidak segera mendapatkan pertolongan akan berpotensi besar untuk melakukan bunuh diri. Berbagai kasus remaja yang bunuh diri akibat cyberbullying menjadi sebuah bukti yang tak terelakkan bahwa media sosial mampu menjelma menjadi lingkungan yang keji bagi remaja apabila dijalankan tanpa kontrol dan pengawasan.
Menurut seorang Psikolog Trisa Genia C. Zega, M. Psi, 40% anak-anak di Imdonesia meninggal bunuh diri akibat tidak kuat dengan bullying yang terjadi. Sementara 38.41% anak mengaku pernah menjadi pelaku dan 45,35% mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Pernah juga terjadi kasus pada tahun 2021 dimana seorang siswi dari daerah Lampun Utara hampir saja melakukan bunuh diri karena diancam disebarkan video asusila siswi tersebut oleh pacarnya. Banyaknya berita terkait cyberbullying belakangan ini menarik atensi media massa supaya masyarakat Indonesia menindaklanjuti terkait problematika serius ini.
Pada akhirnya transformasi digital selain membawa dampak positif juga akan turut membawa dampak negatif apabila dalam penggunaannya tidak dilakukan secara bijak. Media sosial sudah sepatutnya menjadi lapak yang aman dan ditujukkan untuk berinteraksi antar sesama manusia, berujung menjadi lapak yang mewadahi aksi cyberbullying. Remaja pun pada akhirnya akan menjadi korban kelalaian orang tua yang menyepelekan berbgai efek negatif yang mengintai. Padahal seharusnya melalui platform ini, remaja dapat memperluas relasi, mendapatkan wawasan baru, mengasah skill dalam berteknologi, hingga mendapatkan pengetahuan yang tidak mereka peroleh dari pendidikan resmi. Memang fenomena percepatan transformasi digital ini mengagetkan banyak pihak, kurangnya kesiapan dan bekal cara-cara bersosial media yang baik menjadikan orang tua lengah dalam mengontrol sang buah hati. Akan tetapi hal ini seharusnya tidak menjadikan suatu alasan bagi orang tua untuk tidak mengupgrade diri dan beradaptasi terhadap perubahan. Karena hakekatnya jaman akan terus maju, dan mereka yang tidak mau beradaptasi akan tertinggal. Oleh karena itu, kesadaran masing-masing orang tualah yang sangat diperlukan dalam upaya memberantas cyberbullying di Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengingatkan bahwa pemikiran remaja belum sematang pemikiran orang dewasa. Mereka masih sangat memerlukan pendampingan serta kontrol yang serius supaya tidak mudah terjerumus ke dalam cyberbullying. Kontrol orang tua, sosialisasi pembekalan berteknologi yang baik dari pemerintah, serta kesadaran penuh anak itu sendiri. Ketiga komponen inilah yang akan saling berkesinambungan dalam upaya memberantas kasus cyberbullying di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar