MELAWAN BUDAYA CYBERBULLYING DENGAN BERSIKAP MODERAT DI ERA SOCIETY 5.0
Era digital society 5.0 ini memberikan kemudahan kepada pengguna tekonologi untuk mengakses informasi secara global kapan saja dan dimana saja. Era di mana semua elemen teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Segala aspek kehidupan sangat bergantung pada kemudahan akses informasi dan teknologi. Privilege ini yang kemudian disalahgunakan oleh Sebagian oknum untuk melakukan tindakan yang jauh dari kata kemanusiaan meliputi scamming, pencucian uang, penyebaran paham radikal, dan cyberbullying.
Cyberbullying merupakan tindakan kekerasan mental baik terhadap seseorang yang di lakukan di ruang digital. Dengan adanya media digital, pelaku cyberbullying seolah mendapatkan wadahnya yang dianggap “aman” untuk bersembunyi dan amat mudah digunakan. Pelaku dapat dengan mudah melancarkan aksi kekerasan di ruang digital dengan melakukan cacian hanya dengan ketikan jari.
Cyberbullying dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan membuat akun palsu sehingga identitas pelaku tidak terdeteksi. Ada juga oknum yang secara terang-terangan melakukannya dengan akun utama mereka. Dengan kemudahan akses teknologi yang ada tindakan cyberbullying dapat dilakukan tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Contoh dari perilaku cyberbullying yang paling sering dilakukan diantaranya memberikan komentar kasar melalui postingan seseorang dan kolom pesan di media sosial.
Cyberbullying adalah penyakit jiwa dalam diri pelaku. Motif utama seseorang melakukan tindakan ini didasari asas kebencian dan ketidaksenangan melihat kebahagiaan orang lain. Selain itu, kurangnya kesadaran diri dalam menghargai hak dan perbedaan yang ada. Hal ini sesuai dengan data yang tertera, yang menyatakan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia berada di tingkatan terendah kedua di dunia. Maka tidak heran jika perilaku cyberbullying sudah menjamur baik di tingkat anak-anak, remaja, dan dewasa.
Pelaku tindakan cyberbullying tidak hanya menyerang aspek fisik seseorang saja, tetapi juga aspek lain seperti seksualitas, budaya, bahasa, bahkan agama. Mereka berdalih bahwa perilaku membully merupakan hal yang wajar dan hanya sebagai bahan hiburan. Akan tetapi, pada faktanya tindakan yang dilakukan justru memberikan dampak negatif yang sangat merugikan korban. Penyintasnya dapat mengalami luka batin dan trauma yang berakibat luka fisik hingga kematian. Cyberbullying setiap tahunnya memakan korban bahkan sampai meninggal dunia karena kejamnya ketikan oknum yang tidak bertanggungjawab.
Dari jumlah korban yang ada, kelompok yang sangat rentan untuk menjadi korban cyberbullying adalah perempuan dan anak-anak. Sebesar 45% anak-anak di Indonesia merupakan korban dari perilaku cyberbullying. Data terakhir pada tahun 2021 angka tindakan cyberbullying mencapai 5.953 kasus. Yang artinya bahwa budaya ini masih ada dan terus mengalami peningkatan kasus di setiap tahunnya, terutama terhadap anak-anak dan perempuan.
Perempuan merupakan kelompok yang dipandang sebagai manusia yang lemah. Mereka acap kali dianggap sebagai objek seksual. Sehingga tubuh mereka rentan menjadi sasaran bullying jika tidak memenuhi standar seksualitas laki-laki. Ditambah lagi budaya patriarki yang masih melekat pada mindset sebagian orang. Laki-laki dianggap memiliki otoritas atas perempuan. Sementara, perempuan gampang sekali untuk mengalah dalam segi apapun dengan dalih agama dan budaya. Hal ini seringkali menjadikan perempuan sasaran oknum yang tidak bermoral ini.
Penekanan dan penghapusan angka kekerasan di media digital membutuhkan upaya bersama dari berbagai aspek seperti hukum, pendidikan karakter, agama, dan pihak-pihak yang terkait. Kasus bullying sudah diatur dalam Undang-Undang yang berisi aturan hukum bagi pelaku cyberbullying yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), cyberbullying masih marak terjadi. Meskipun demikian, penegakan hukum untuk sementara ini belum mampu menjadi solusi bagi para korban cyberbullying ini. Hal ini dikarenakan kekurang tegasan hukum yang ada yang kurang berpihak kepada korban, dan sedikitnya sumber daya manusia dibandingkan dengan jumlah kasus yang ada.
Pendidikan karakter dapat meminimalisir perilaku cyberbullying, jika belum bisa menghilangkan. Salah satu karakter yang urgent kita miliki saat ini adalah sikap moderat. Moderat menurut pandangan Yusuf al-Qaradhawi adalah sikap yang mengandung rasa adil, perwujudan dari rasa aman, persatuan, dan kekuatan. Sikap moderat menjadi opsi yang paling sederhana untuk mengurangi angka kasus bullying. Sikap moderat adalah sikap netral. Ia tidak menganggap satu pihak lebih baik dari pihak lainnya.
Sikap moderat dapat menjadi pedoman bagi banyak orang untuk dapat menghargai hak orang lain dan menghargai juga perbedaan yang ada. Sikap moderat seringkali diartikan sebagai sikap yang tidak memihak siapapun, asas utama inilah yang bisa menjadi pemicu bagi orang lain untuk tidak alergi akan perbedaan. Sehingga seseorang tidak dapat seenaknya menjudge dan memperlakukan seseorang yang tidak sesuai dengan pikirannya.
Dalam mengimplementasikan sikap ini tentunya perlu pendidikan terbaik yang berasal dari orang tua. Orang tua berkepentingan untuk mengajarkan sejak dini mengenai pentingnya menghargai orang lain berikut pula dengan hak-hak yang melekat pada mereka. Perbedaan disini bukan hanya sekedar perbedaan dari segi yang tampak secara fisik saja, tetapi perbedaan yang tak tampak juga harus diperhatikan, seperti perbedaan berpendapat, perbedaan pandangan politik, perbedaan afiliasi organisasi, dan perbedaan yang lain.
Selain itu, orang tua juga harus mengawasi perilaku anak dan tidak memberikan akses media sosial kepada anak-anaknya. Fasilitas handphone, tablet, dan laptop memang sudah menjadi kebutuhan primer bagi anak pada saat ini. Namun, orang tua harus tegas untuk membatasi penggunaannya hanya untuk menunjang proses pendidikan anak semata. Jika memang anak memerlukan media untuk berkirim pesan, sebaiknya orang tua juga perlu memiliki akses pada media tersebut untuk mengawasi dan melihat aktifitas anak di dunia virtual. Disiplin seperti ini perlu dilakukan demi keselamatan dan kesehatan mental anak tersebut.
Tindakan lain yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberikan lingkungan yang baik dan nyaman bagi anak. Lingkungan adalah salah satu komponen yang berperan penting dalam membentuk karakter anak. Pembatasan pertemanan dari lingkungan yang tidak sehat seperti pertemanan dan tetangga yang tidak sehat menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu, orang tua juga perlu selektif dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya dengan melihat komitmen sekolah terhadap perlindungan anak dari bullying, membaca track record, dan melakukan penelitian sekilas terhadap lingkungan di sekolah.
Lembaga pendidikan memiliki peran penting karena sekolah adalah tempat di mana anak Menghabiskan sebagian dari waktunya. Banyak nya kasus bullying yang diterima berasal dari lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi safe space, tempat untuk menimba ilmu, dan mencari teman sebanyak-banyaknya. Namun, faktanya, sekolah menjadi tempat yang tidak aman bagi anak-anak. Sekolah tidak hanya sekedar memberikan teori berupa larangan untuk melakukan tindakan ini. Guru-guru dan tenaga pendidikan perlu memiliki komitmen kuat untuk melindungi anak-anak dari kasus bullying. Masing-masing komponen di dalam sekolah perlu bahu membahu memberantas kasus bullying ini. Institusi pendidikan pun perlu membuat pengawasan yang intense kepada seluruh komponen di institusinya mengingat bullying tidak saja rentan bagi anak-anak tapi juga para guru perempuannya.
Selain peran penting dari sekolah, pemerintah melalui Kementerian informasi dan Komunikasi perlu memperketat penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur. Penyedia layanan seperti Facebook, Instagram, Twitter sudah membuat peraturan usia minimal pengguna. Namun, pada kenyataannya, anak-anak dengan mudah dapat merubah identitas usianya agar dapat menggunakan media sosial. Ketegasan pemerintah sangat diperlukan disini sebagai upaya untuk memberikan kebijakan yang berguna untuk membatasi ruang gerak perilaku cyberbullying sehingga jumlah korban yang ada bisa diminimalisir.
Cyberbullying adalah ancaman nyata yang dapat merusak mental dan moral generasi penerus bangsa. Dari permasalahan kompleks yang ada semua pihak harus bahu membahu untuk memberikan sumbangsihnya dalam menangani kasus yang sudah menyebar di negeri yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan ini. Dengan adanya solusi yang dibangun bersama maka bukan tidak mungkin perilaku/kasus ini perlahan mulai hilang dan munculah perilaku positif baru dalam media digital. Di era digital society 5.0 ini, moralitas di dunia maya sama pentingnya dengan moralitas di dunia nyata.
Komentar
Posting Komentar