[Resensi] Ia Meminjam Wajah Puisi



Judul : Ia Meminjam Wajah Puisi

Isbn : 978-623-7290-84-1

Penulis : Aya Canina

Penerbit : Basabasi

Tahun terbit : 2020

Cetakan : Pertama, April 2020

Tebal buku : 86 halaman

Jenis cover : Soft cover

Resentator : 


Andari Jamalina Pratami atau yang dikenal dengan Aya Canina merupakan seorang penulis sekaligus musisi kelahiran Jakarta, 22 Januari 1995. Aya sapaannya, lahir di Jakarta dan tinggal di Bekasi. Ia pertama dikenal sebagai vokalis band bernama Amigdala. 

Lewat berbagai puisi yang digubah manjadi lagu, grup band Amigdala berhasil menyita perhatian para penikmat lagu indie. Apalagi salah satu judul lagu yang berjudul “Ku Kira Kau Rumah” yang diangkat menjadi film, menjadikan nama band Amigdala menggema di industri hiburan. Sayangnya ia harus hengkang dari band tersebut pada tahun 2020. 

Perempuan satu ini ingin memiliki umur panjang dalam puisi sekalipun jalannya berliku, berlubang, becek, juga banyak rambu yang seringkali dilanggar. Bagi dirinya manusia bebas untuk memilih cara bertahan dan ia memilih puisi. 

Buku puisi berjudul “Ia Meminjam Wajah Puisi” tersebut menjadi anak pertamanya dalam melahirkan buku. Di dalamnya berisi 84 sajak yang menggambarkan berbagai macam rasa yang diledakkannya lewat diksi-diksi yang indah. Seperti kata penulis, satu-satunya kesedihan yang patut diinsyafi di dunia adalah jatuh cinta dan pesta paling meriah untuk merayakannya adalah puisi.

Isi sajak-sajaknya bertemakan rindu, kesepian, jatuh cinta dan lukanya, juga jatuh cinta dan segala bungahnya. Puisi-puisinya jika diserap dan dicicip diksinya membuat candu sekaligus gaduh di hati pembaca. 

“Menu Hari Ini” menjadi salah satu puisi dalam buku yang menjadi favorit saya, bunyinya adalah sebagai berikut

Menu Hari Ini

Tadi pagi aku kencang dengan pemulung

Kami saling bertukar sarapan.

Ia memberiku sebungkus makanan 

Isinya nasi bungkus, tulang ikan, dan sisa sambal.

Aku memberinya sebungkus realita 

Isinya mataku, alamat rumah masa kecilku, dan sisa cita-cita.


Bukannya dimakan, ia malah 

mengembalikannya padaku

sambil tertawa,


“maaf ternyata aku sudah kenyang.”

(Bekasi, 2017)

Dalam puisi tersebut menggambarkan apa yang dirasakan ‘aku’ dengan segala harapan yang ditawarkan kepada ‘pemulung’ nyatanya ditelan juga olehnya jauh-jauh hari, sampai ia tidak mau lagi menerima apa yang ditawarkan ‘aku’ saking kenyangnya makan mimpi dan harapan.

Kelebihan dari kumpulan puisi ini adalah apa yang dirasakan penulis melalui sajak-sajaknya terasa juga oleh pembaca. Diksi-diksinya indah meskipun terdapat diksi yang terdengar tabu.

Kekurangannya adalah buku sulit dibuka dan mudah lepas lembar kertasnya karena perekat yang kurang kuat. 


Komentar

Popular Posts