Musyawarah Untuk Mufakat Mahasiwa: Masih Adakah?
Indonesia sebagai Negara demokrasi sudah menjadi cita-cita bangsa
ini sejak diperolehnya kemerdekaan tahun 1945. Penduduk Indonesia memiliki
latar belakang yang berbeda-beda seperti ras, suku, dan budaya yang majemuk
sehingga menghasilkan keberagaman. Keberagaman tersebut sudah seharusnya tidak
menjadikan perselisihan yang perlu dipertentangkan agar terciptanya tujuan
Negara Indonesia yang adil dan makmur. Pandangan hidup yang terjadi di setiap
individu melahirkan banyak ide dan pendapat sehingga memicu permasalahan.
Secara umum, segala sesuatu untuk menyelesaikan permasalahan perlu diadakan
musyawarah untuk mufakat.
Setiap individu perlu memahami bahwa musyawarah untuk mufakat dapat
menjadi salah satu jalan mempererat silaturahim serta memperkokoh pondasi
demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila mengutamakan serta menjunjung tinggi
musyawarah untuk mufakat, baik secara langsung maupun diwakilkan oleh
perorangan. Proses musyawarah mufakat membahas secara bersama-sama demi
tercapainya suatu kesepakatan. Musyawarah untuk mufakat dilakukan dalam rangka menghindari
pemungutan suara yang menghasilkan anggota minoritas dan mayoritas.
Namun, peristiwa di lapangan memunculkan kekurangan yang tidak
mencerminkan musyawarah mufakat. Pasalnya, musyawarah mufakat digantikan
menjadi sistem voting yang pada intinya berlawanan arah dengan
musyawarah mufakat. Voting merupakan pemungutan suara di mana suara
terbanyak adalah pemenang sekaligus penentu berjalannya suatu kegiatan. Apabila
tidak mengikti proses perjalannya voting, maka akan mengikuti suara
mayoritas yang terpilih. Musyawarah mufakat hakikatnya dilakukan dengan
berunding atau berembuk untuk bersama-sama mencari jalan keluar tanpa adanya
kerugian yang disebabkan oleh beberapa pihak terkait. Hendaknya meciptakan
suasana harmonis agar tidak terjadi perselisihan dalam proses musyawarah untuk
mufakat.
Di kampus, di dunia akademik, dunia keilmuan, ideologi partisipasi
terasa begitu penuh wibawa bagi mahasiwa. Perkulihan metodologi penelitian
sosial maupun dalam diskusi pembahasan proposal atau hasil penelitian
memerlukan musyawarah dan proses observasi yang panjang. Dalam perspektif
akademik, observasi partisipasi menjadi peristiwa kemanusiaan sebagai usaha
untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi mengenai suatu fenomena kehidupan.
Pandangan tersebut bukan suatu hal baru dalam proses perkuliahan, perlu
ditegaskan kembali bahwa yang sudah ada itu kini telah berubah, atau masih ada
di beberapa sisi sebagaimana sebelumnya terjadi.
Musyawarah mufakat mahasiswa sudah berkurang peminatnya dan sepi
pelestariannya dengan dalih kesibukan yang padat sehingga memilih jalan praktis
dengan cara voting. Kelemahan musyawarah mufakat dalam proses
pengambilan keputusan memang membutuhkan waktu yang cukup panjang dan diskusi
yang alot. Namun pandangan lain tentang musywarah mufakat tidak dapat
ditepis bahwa tidak semua mahasiswa memiliki waktu luang dan kesibukan yang
sama, untuk harus mengikuti kegiatan musyawarah mufakat. Akan banyak
pertimbangan yang muncul apabila kebijakan musyawarah mufakat harus dihadiri
oleh seluruh mahasiswa dalam penentu suatu kegiatan.
Budaya musyawarah mufakat tetap perlu dilestarikan sebagai adat istiadat supaya tidak punah dikalangan mahasiswa. Dalam kehidupan sehari-hari musyawarah mufakat dapat dipraktekan dan dilestarikan untuk menciptakan tali kekeluargaan kerukunan, keharmonisan, dan meningkatkan toleransi serta empati mahasiswa. Budaya musyawarah mufakat dapat dilakukan baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun lingkungan kampus.
Oleh
: Deta Novitasari Jayanty
Pimpinan Umum LPM Esensi Fakultas Psikologi dan Kesehatan periode 2019-2020
Komentar
Posting Komentar