Anomali Konstitusi Akibat Stratifikasi Masyarakat
Sebagai negara hukum, masyarakat Indonesia tentunya dipaksa bertindak sesuai dengan regulasi yang diadakan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari berbagai macam individu dan kepentingan akan carut marut dan kacau tanpa adanya regulasi yang mengukungnya. Konflik dalam masyarakat akan lahir seiring dengan pendapat yang berbeda dari setiap individu. Oleh karena itu, hukum diciptakan sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat dan sebagai langkah preventif lahirnya penyimpangan dalam kehidupan bemasyarakat. Hukum yang kudu dipatuhi dalam kehidupan bermasyarakat dapat berupa norma – norma, kaidah susila dan moral maupun aturan – aturan yang dibuat oleh aparat pemerintahan setempat. Menariknya, pelanggaran dan penyimpangan justru semakin marak dewasa ini. Entah karena kecacatan hukum ini sudah menjadi barang yang konvensional atau karena penegakkan hukum yang semakin tumpul.
Hukum dapat didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang bersifat mengikat, memaksa dan universal dimana pelanggarnya akan mendapat sanksi demi tercapainya kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat (Tuti Haryanti, 2014). Sedangkan Selo Soemardjan menyebutkan masyarakat adalah orang yang hidup bersama – sama sehingga menimbulkan kebudayaan dan Emile Durkheim mengartikan masyarakat sebagai kenyataan objektif individu – individu yang merupakan anggota – anggotanya (Bambang Tejokusumo, 2014). Menurut pada interpretasi di atas, hukum menjadi pengendali masyarakat yang beragam dalam melakoni kehidupan dalam lingkungannya. Oleh sebab itu, hukum menjadi urgen yang harus ditaati oleh setiap lapisan bermasyarakat.
Norma hukum dalam masyarakat biasanya berbeda – beda antara satu daerah dengan daerah lain disesuaikan dengan kebiasaan, agama atau keberagaman lain dalam lingkungan masyarakat. Regulasi ini diatur oleh pemerintah setempat dengan tidak berkontradiksi dengan aturan hukum dalam tingkatan lebih tinggi. Contoh hukum di masyarakat antara lain, melapor pada ketua Rt/Rw apabila ada tamu yang akan menginap di rumah, dilarang bertamu lewat jam 10.00 malam demi kenyamanan dan ketentraman bersama, membayar iuran yang telah disepakati perangkat desa bersama warga dan lain – lain. Warga yang tidak loyal terhadap norma hukum yang berlaku jelas akan mendapat sanksi dari masyarakat. Oleh karena itu, seluruh warga wajib mematuhi dan menerapkan peraturan yang telah diberlakukan demi mencapai ketenangan lingkungan masyarakat dan stabilitas hukum.
Lalu bagaimanakah implementasi hukum dewasa ini ? Fenomena yang hadir di ambang pelupuk mata justru menampilkan repetisi adegan yang begitu miris. Hukum seolah tunduk pada hierarki masyarakat sehingga menciderai keadilan bagi kaum sosial ke bawah. Cetusan “ TAJAM KE BAWAH TUMPUL KE ATAS” dirasa begitu pas mencerminkan atmosfer konstitusi saat ini. Padahal pada hakikatnya, sumber hukum Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 28 D ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” namun faktualnya, bunyi ayat di atas dirasa begitu mewah untuk sekedar dicicipi oleh lapisan masyarakat tertentu.
Supremasi hukum belum menunjukkan efektifitas yang otentik. Anomali akibat stratifikasi sosial menjadi halangan nyata manifestasi hukum di masyarakat. Pelaku kecurangan hukum dari keluarga yang memiliki strata sosial lebih tinggi seakan – akan kebal hukum sementara kaum masyarakat dengan latar belakang keluarga yang biasa atau tidak menempati kedudukan dalam lingkungan masyarakat begitu tertikam dengan presensi norma hukum yang berlaku. Padahal sebagai negara konstitusi, masyarakat Indonesia tentunya bergelut dengan hukum di setiap harinya, maka kemandulan hukum menjadi sangat krusial untuk diselesaikan.
Kecacatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dapat kita minimalisir dengan patuh pada norma hukum yang berlaku di masyarakat dan saling sadar untuk tidak membedakan seseorang berdasarkan faktor politik maupun ekonomi. Norma hukum tentunya juga memiliki hubungan yang sinergis dengan norma lainnya salah satunya yaitu norma agama. Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin sehingga segala aspek kehidupan telah tertera di dalamnya.Islam mengajarkan sikap ukhuwah, tasamuh, tawasuth,dan musawah.
Ukhuwah secara harfiah berarti persaudaraan dan secara istilah berati sikap menumbuhkan rasa kasih sayang seperti pada jalinan persaudaraan. Atas dasar persaudaraan sebangsa dan setanah air (Ukhuwah wathaniyah) hendaknya kita saling memberi kasih sayang tanpa membeda – bedakan ras, suku, agama maupun kehidupan kapital dan politik. Tasamuh atau toleransi sangatlah penting dalam kehidupan bermasyarakat, keterbukaan dan menghargai perbedaan merupakan sikap yang esensial guna menjaga keutuhan bersama. Tawasuth atau moderat berarti tidak condong terhadap sesuatu. Maksudnya, orang yang memiliki sikap tawasuth tidak bersikap ekstrem terhadap pendapat tertentu sehingga kehidupannya berada di tengah, tidak mudah menyalahkan orang yang tidak sependapat dengannya dan tidak memaksakan apa yang ia imani pada orang lain. Jika seseorang sudah memiliki akhlak – akhlak mahmudah di atas, maka timbullah sikap musawah, yaitu sikap memandang semua manusia di dunia ini memiliki kedudukan yang sederajat, memiliki martabat dan harkat yang sama sehingga anomali dalam konstitusi tidak lagi terjadi.
Oleh : Rozana Labiqo Mahera (Mahasiswi Jurusan Gizi tingkat empat UIN Walisingo Semarang)
REFERENSI
Haryanti, Tuti. 2014. Dinamika Masyarakat Sebagai Sumber Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Malang : Geoedukasi. Vol. III No. 1
Tejokusumo, Bambang. 2014. Hukum dan Masyarakat. Ambon : Tahkim.Vol. X No. 2
Komentar
Posting Komentar