RESENSI BUKU : Perempuan Di Titik Nol
https://www.google.com/search?q=buku+perempuan+di+titik+nol |
Judul Buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis
: Nawal el-Saadawi
Penerjemah : Amir Suutarga
Penerbit :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit : 1989
Tebal
: 176 Halaman
Resentator : Indriyani
Nawal el Saadawi adalah seorang dokter berkebangsaan
Mesir yang melahirkan berbagai karya tulis tentang status, psikologi dan
seksualitas wanita. Beberapa karyanya yang disensor oleh badan sensor Mesir dan
dilarang di Saudia Arabia dan Libya kini diterbitkan di Lebanon. Karya-karyanya
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yaitu Women and Sex, Women and Psychological Conflict, Women at Point Zero
dan masih banyak lagi.
Buku
ini menceritakan kisah tentang perempuan bernama Firdaus. Salah satu objek
penelitiannya di mana Firdaus di duga mengidap gangguan syaraf. Tetapi siapa
sangka wanita yang akan di hukum mati (gantung) karena kesalahannya membunuh seorang
laki-laki itu menarik perhatian tersendiri bagi Nawal. Awalnya Firdaus menolak, tetapi berhari-hari
kemudian dia mau menceritakan kisah hidupnya. Kisah yang merenggut seluruh
harga diri bahkan merenggut keputusasaan yang sudah menjangkit kehidupannya
selama ini.
Firdaus dibesarkan oleh pamannya sejak sekolah dasar
setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Dengan pengetahuannya yang minim dan
sedikitnya arahan yang diberikan oleh pamannya, Firdaus buram mengetahui
hal-hal seksualitas yang tabu bagi kebanyakan orang. Sehingga sesuatu yang
dilakukan teman masa kecilnya (Muhammadein) membuatnya merasa aneh. Perasaan
yang hanya saat-saat tertentu dirasakannya nikmat setiap bagian tertentu
disentuh.
Perasaan ini juga berulang ketika dirinya bersama
pamannya suatu waktu. Saat mereka pulang dari bioskop sebagai hadiah tanda
tamat belajarnya dari sekolah dasar. Pamannya menelusuri bagian demi bagian
tubuhnya dengan perlahan-lahan dengan jari-jari besarnya. Rasa nikmat itu
muncul kembali setelah sekian lama.
Setelah lulus, Firdaus dikirim ke asrama sekolah
lanjutan, di sana dia mengenal sekolah dan berteman. Rutinitas di asrama
menjadikannya mencintai buku dan sekolah. Akan tetapi, setelah lulus Firdaus
tidak bisa kembali melanjutkan sekolah karena paman dan istrinya tidak bisa
terus membiayainya.
Dengan sengaja mereka menikahkan Firdaus dengan lelaki
yang berusia lebih dari setengah abad bernama Syekh Mahmoed. Pernikahan yang
terpaut sangat jauh jarak umurnya tentu saja tidak membuahkan kebahagiaan.
Syekh Mahmoed kasar, tukang pukul dan hanya memikirkan napsu birahinya.
Akhirnya Firdaus memilih melarikan diri, dan ketika
dia menemukan sebuah warung kopi. Dia bertemu dengan Bayoumi. Padanya rasa
nyaman dilimpahkan hingga beberapa hari Firdaus tinggal di rumah Bayoumi.
Namun, nasibnya sama naasnya dengan sebelumnya. Lelaki yang disangkanya baik dan
menanungi kehidupannya, ternyata tak lebih bejat dari Syekh Mahmoed. Suatu
malam mereka berdua berada di dalam kamar dan entah mengapa tubuhnya tiba-tiba
saja tersentuh rasa nikmat atau rasa sakit tetapi entahlah. Tetap saja
keesokannya Bayoumi mencampakkan Firdaus.
Firdaus terluntang lantung entah mau ke mana. Hingga
suatu malam di tepi sungai Nil dia bertemu dengan Sharifa, germo yang tidak
diketahuinya. Pada Sharifa ia bekerja, dengan kepolosannya Fawzi lelaki yang dilayaninya
pada suatu malam menjelaskan bahwa Firdaus sedang ditipu oleh Sharifa. Firdaus
lalu kabur dengan ratap air mata. Begitu terus siklus hidupnya bertahun-tahun
menghadapi lelaki, begitu pula Firdaus selalu terjebak. Dari mulai lelaki kelas
rendahan sampai para petinggi seperti polisi dan aparat negara. Semuanya pernah
ia rasakan. Termasuk pada rekan kerjanya Ibrahim. Sehingga ia menjadi pelacur
kelas atas di Kairo.
Selama bertahun-tahun menjadi pelacur dan tidak mau
dibayar murah. Firdaus menaikkan taraf harganya dengan sangat tinggi. “Saya telah menjadi seorang pelacur yang
sangat sukses. Saya menerima bayaran yang paling mahal, dan malahan orang-orang
pentingpun bersaing untuk disenangi oleh saya,” katanya penuh kebanggaan.
Hingga pada suatu ketika Firdaus melayangkan nyawa
germo yang menjadi titik tumbuhnya keberanian dan lenyapnya rasa takut selama
bertahun-tahun. Katanya, “Seorang pelacur
yang sukses lebih baik dari pada seorang suci yang sesat.”
Pembunuhan kedua hampir saja kembali terjadi, ketika
Firdaus melayani seorang pangeran. Dia tidak percaya kalau Firdaus pernah
membunuh, sehingga Firdaus membuktikan tingkah kejamnya. Sampai orang yang
mengaku pangeran ini memanggil polisi. Mereka menghukum mati Firdaus karena takut
membiarkannya hidup. Mereka tahu selama Firdaus masih hidup mereka tidak akan
aman.
Sebelumnya Firdaus akan diberi keringanan dengan
syarat mengirim surat permohonan kepada presiden dan minta maaf atas kejahatan
yang dia lakukan. Tetapi Firdaus justru mengancam bahwa jika dia dibebaskan
dari pennjara maka dia tidak akan pernah berhenti membunuh. Katanya, “Saya lebih suka mati karena kejahatan yang
saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”
Sebelum Firdaus berpisah dengan Nawal, dia
mengatakan bahwa “kematian dan kebenaran
itu sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian. Mereka tidak takut
pada pisau saya tetapi mereka takut akan kebenaran saya. Kebenaran yang
menakutkan ini telah memberi kekuatan yang lebih besar kepada saya. Adalah
kebenaran yang menakutkan ini yang mencegah saya merasa takut kepada
kekurangajaran para penguasa dan petugas kepolisian.”
Kisah ini benar-benar memukau. Membacanya seperti
mendapat paradigma baru bagaimana seorang yang kotor mampu melakukan kebenaran
dan berani berkata jujur di sisa-sia hidupnya. Dalam hal ini Firdaus
mengajarkan bahwa kebenaran dan kejujuran tersebut harus ditegakkan bagi setiap
orang tidak peduli profesinya sebagai petinggi maupun rendahan.
Dan satu lagi, mereka yang profesinya buruk, belum
tentu perilakunya juga buruk. Barangkali keadaan yang membuatnya terbatas dalam
memahami hidup seperti kurangnya peran keluarga dalam memberi edukasi terlebih
edukasi tentang seks yang dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat.
Oleh : Indriyani (LPM Esensi)
Komentar
Posting Komentar